The Fossgate Social, York, 3 Oktober 2015 |
Aku baca ulang judul di atas, Catatan Akhir Cupping 2015: GMO dan Body. Ada tiga kata dalam bahasa asing yakni Cupping, Body, dan GMO, baca tuntas untuk pengertiannya yah.
Kira-kira begini artinya, konteksnya adalah dalam industri kopi Specialty (hadeh, ini juga Bahasa Inggris, kira-kira sepadan dengan "spesial" artinya). Cupping berarti kegiatan seorang profesional untuk melakukan penilaian atau uji cita rasa terhadap kualitas kopi.
Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya (KIBAR) Cabang Leeds punya program rutin berupa pengajian bulanan. Pada pengajian bulan Januari 2016 yang berlangsung hari minggu lalu, bertempat di Leeds University Union, KIBAR membahas tema Tasawuf dan Lingkungan oleh Bambang Irawan, pengajar di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Dr. Bambang Irawan M.A. saat itu sedang menjalani program Sabbatical (cuti panjang untuk kepentingan penelitian) selama tiga bulan yang didukung penuh oleh Kementerian Agama, lembaga negara tempat institusinya bernaung.
Leeds menjadi kota terakhir tempatnya melakukan penelitian, mewawancarai narasumber ahli, sebelum kemudian pulang ke tanah air, dalam minggu ini. Sebelumnya, Dr. Bambang mewawancarai narasumber di Washington, dan beberapa kota lain di Inggris.
Lingkungan tempat tinggal (neighborhood) sementara di Leeds, 2015 |
Aku bilang murah karena membandingkan dengan tarif sewa yang harus dibayarkan oleh sepasang suami istri muda lain asal Indonesia yang menginap sementara ketika baru tiba, di flat milik keluarga yang juga asal Indonesia. Tarif akomodasi kami lebih murah setengahnya, dengan fasilitas yaaa lebih kurang sama, dan lokasi yang relatif sama jaraknya ke, yang menjadi tujuan utama kami semua tinggal di Leeds yakni, kampus.
Tuan rumah home stay kami ini warga setempat yang sungguh baik hati, dan sangat membantu. Selain kamar dan kamar kecil, kami dapat fasilitas dapur dan internet yang cukup. Mungkin buat orang yang suka menilai orang berdasar penampilan fisiknya tidak akan menyangka kalau tuan rumah kami ini baik hati.
Bonfire Night, Woodhouse Moor, Leeds, West Yorkshire, UK, 2015 |
Leeds Grand Mosque, 2015 |
Apakah membanding-bandingkan itu buruk? Tidak selalu. Ada kalanya baik ketika membandingkan tersebut dengan suatu kondisi yang lebih baik berdasar ikhtiar untuk mendorong kondisi yang dibandingkan tersebut menjadi lebih baik.
Aku anggap buruk dan mengganggu yakni membandingkan Indonesia, yang lazim dilakukan oleh jurnalis dan siapa saja yang suka membandingkan tanpa menempatkan dalam konteks yang mencerahkan. Aku ingin mengingatkan kembali peran jurnalis ketika menyampaikan informasi yakni harus disertai dengan menempatkannya dalam konteks yang jernih, sertakan faktor-faktor yang setara, sedapat mungkin.
Ceritanya, aku menonton video berita di YouTube tentang konsumsi beras yang membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain, misalnya Jepang yang sesama pemamah nasi, dan beberapa negara lain dalam suatu infografik (diagram). Menjadi mengganggu buatku, karena tidak disinggung sama sekali tentang jumlah populasi masing-masing negaranya.
Aku menonton itu pada awal 2015, sudah lama sekali memang, namun perasaan (terganggu) ini terus kupendam. Sejak itu sampai sekarang, aku terus menerus membaca, menonton, mendengar jurnalis, orang-orang, membandingkan Indonesia yang kaya budaya ini dengan negara-negara lain, sampai kemudian sekarang aku harus berkata Enough is Enough! #ceile.
Oh, kau boleh menyimpulkan betapa aku sangat ahli memendam perasaan. Oh, keahlian ini tidak instan kawan, aku mendapatkannya dengan perjuangan, dan sampai sekarang pun aku terus mengasahnya.
Banyak contoh lain laporan jurnalistik yang membandingkan Indonesia tanpa menyertakan konteksnya. Untuk contoh konsumsi beras, kau bisa bilang sudah menyebut konteksnya yakni sesama pengkonsumsi beras. Benar, menyebut satu variabel yang sama berarti sudah merupakan konteks, tapi tanpa menyebutkan jumlah populasinya itu tidak mencerahkan, kawan.
Gangguan lain, tersebutlah seorang editor ternama koran cetak ternama yang curhat, "Inilah Senjakala Kami" judulnya, kemudian ada yang membandingkan, bahwa versi daring alias dalam jaringan (salah satu upaya generasi yang berusaha kekinian dan cinta bahasa serapan untuk menerjemahkan "versi online") lebih banyak dibaca daripada versi cetak.
Menurut ngana, hari gini, versi mana yang lebih banyak dibaca orang? Lha, versi cetak, orang harus beli korannya entah kemana, atau pinjam baca entah kemana, memegangnya lebih payah pula daripada versi daring yang gratis dan dikirim ke genggaman tangan. Ironis? Iya, kalau dulu sekali dikatakannya.
Aku percaya niat baik jurnalis yang hendak membandingkan Indonesia itu. Karena biasanya dibandingkannya dengan kondisi yang lebih baik. "Di negara lain bisa begini, kok di Indonesia tidak bisa begini. Di negara lain bisa begitu, kok di Indonesia tidak bisa begitu". Ini adalah contoh pemakaian perbandingan yang baik, karena membandingkan dengan kondisi yang lebih baik membuat kita terdorong untuk menjadi lebih baik. Tapi konteksnya, tolonglah disertakan.
Pada kasus membandingkan kebiasaan, menemukan suatu variabel konteks yang (terasa) setara memang susah. Membandingkan satu manusia dengan manusia lain saja tidak pernah terasa adil, bagaimana mau membandingkan sekelompok manusia dengan manusia lain.
Aku tahu, menyertakan konteks akan menambah durasi atau panjang naskah, namun tidak ada alasan keterbatasan ruang produksi lagi toh pada media digital, teks atau video. Tidak akan signifikan juga menambah waktu orang untuk menyimaknya. Tidak akan sampai lebih satu menit waktu orang bertambah untuk membacanya. Tentu dibutuhkan keahlian menyunting yang keren. Di BPPM Balairung UGM, tempat aku tiga tahun belajar jurnalistik, aku kenal orang yang bisa menyunting isi naskah ini menjadi setengah panjangnya tanpa mengurangi subtansi yang mau kusampaikan.
Pemakaian perbandingan yang buruk adalah ketika kita membandingkan dengan kondisi yang lebih buruk, guna membuat kita merasa lebih baik. Tidak perlu contoh, kau tahulah maksudku. Hmmm, mungkin kata buruk kurang tepat, lebih tepatnya kekanak-kanakan. Seperti anak SD yang ditanyai orang tuanya, "Kenapa rapormu banyak merahnya", dijawahnya "Loh, teman-teman lain juga lebih banyak yang merah kok". Kenapa saudara korup, loh yang lain juga korup kok". Begitu kira-kira.
Oiya, ingatlah bahwa kekayaan budaya Indonesia luar biasa, dan betapa soal kebudayaan alangkah anehnya jika kita melakukan perbandingan. Kecuali ketika engkau ingin buat keputusan untuk kepentingan bisnis, tentu saja perbandingan itu perlu dipaparkan.
Naskah ini sedikit banyak berangkat dari semakin banyak dan mudahnya medium yang memfasilitasi penyampaian pemikirannya sembari melakukan perbandingan.
Leeds, sebelum berangkat Jumatan, 1 Januari 2016.