Ini tulisan tentang kesan saya terhadap bonek. Agak telat saya menulisnya, karena berbagai kesibukan dan lupa. Namun, karena kesannya kuat, saya masih ingat. Bonek juga bantu pengungsi Merapi.
Pengetahuan awal saya terhadap bonek, alias gerombolan pendukung kesebelasan sepak bola asal Jawa Timur, adalah mereka punya riwayat bertindak anarki di lokasi pertandingan, dan di sejumlah daerah yang mereka lalui menuju pertandingan tersebut.
Dampak yang paling segar dalam ingatan saya, bonek jadi musuh warga di sekitar stasiun kereta api di Solo, Jawa Tengah, dan Lempuyangan, Yogyakarta. Kalau soal penyebab permusuhan itu, saya tidak tahu pasti. Tapi, media berhasil membuat saya punya kesan bonek yang memulai.
Adalah tiga warga Surabaya yang dengan mantap memperkenalkan diri sebagai bonek, Rizal, Oyek dan Budi (ketiganya berusia antara 20 tahun sampai 30 tahun). Kami berkenalan di kantor lembaga swadaya masyarakat Combine Resource Institution (CRI), di Jalan Kyai Haji Ali Maksum Nomor 183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, pada Kamis, 4 November 2010.
Saya ke kantor CRI untuk mencari tumpangan roda empat. Selama masa tanggap darurat Gunung Merapi, ada armada dari CRI yang bergerak ke posko-posko relawan komunitas Jalin Merapi, hampir setiap hari. Entah armada milik CRI, atau dari pihak lain yang membantu. Saya ingin lihat dampak Gunung Merapi terhadap warga yang tinggal di dekatnya.
Lokasi yang jauh, dan medan perjalanan yang berat karena terkena hujan abu, dan pasir, vulkanik, tentu melelahkan jika saya tempuh dengan sepeda motor. Sebelumnya, saya pastikan, kehadiran saya tidak merepotkan, dan benar-benar ada ruang di dalam kendaraan.
Kendaraan bonek tersebut memenuhi syarat saya. Tim Combine menitipkan logistik bantuan. Tujuan kami adalah posko Jalin Merapi di Pedukuhan Sedan, Desa Ketinggeng, Kecamatan Dukun, Magelang, dengan kontak relawan bernama Rey. Sekitar pukul 13.00 WIB kami tinggalkan kantor CRI.
Saya dapat kesan tentang bonek ini di sepanjang perjalanan. Rizal sudah lebih dulu di Yogyakarta, sejak hampir seminggu yang lalu, dibanding dua kawannya, untuk menyalurkan bantuan. Hari sebelumnya, Rabu, mereka mengantar logistik ke satu lokasi pengungsian di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Mereka cerita, sebelum berangkat, mengamen di Surabaya selama dua hari, dan mendapat Rp 6 juta. Duit inilah modal mereka untuk membantu.
Dari CRI, kami tiga kali berhenti. Untuk beli buah selama setengah jam, belanja bantuan, lagi, di sebuah pasar swalayan selama satu jam, dan makan siang selama setengah jam. Mereka harus menghabiskan modalnya, uang sekitar Rp 4, juta di pasar swalayan itu, karena harus segera pulang.
Pengalaman ini merombak kesan saya terhadap bonek yang anarki, yang berhasil dibenamkan oleh berita di media. Seharusnya, saya tidak pukul rata.
Yang harus dipukul rata adalah semua manusia punya kebutuhan untuk membantu, selain juga butuh dibantu. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Sudahlah, yang penting tindakannya, bukan istilahnya.
Kami tiba di lokasi sekitar pukul 16.30 WIB. Bonek dan para relawan yang ada di posko tersebut bergerak cepat memindahkan logistik bantuan dari mobil ke gudang. Ada seorang relawan perempuan yang berperan mencatat lalu lintas logistik. Katanya, dia seorang mahasiswi pasca sarjana.
Tidak ada pengungsi di posko ini, kecuali sang empunya rumah. Posko lebih sebagai tempat koordinasi puluhan relawan Jalin Merapi.
Rey menjelaskan, sasaran bantuan posko tersebut lebih kepada pengungsi yang menempati rumah-rumah pribadi warga. Menurutnya, pengungsi jenis tersebut luput dari bantuan pemerintah. Padahal, jumlahnya juga banyak, dari segi rumah yang ditempati, dan pengungsi per rumah. Bahkan, ada sekitar 200 pengungsi yang menempati satu rumah pribadi.
Harus diakui, barak pengungsian yang ada, entah itu menempati sekolah, atau bangunan perkantoran milik pemerintah atau swasta, tidak cukup menampung semua pengungsi. Rumah pribadi pun ditempati, perannya sama penting.
Hari itu, kondisi sangat memprihatinkan. Sejak beberapa hari sebelumnya, kampung ini, dan hampir sebagian besar Kabupaten Magelang, dan sebagian Sleman, diguyur hujan abu, pasir, dan air, silih berganti. Air bersih untuk MCK di posko tersebut sangat minim.
Sepanjang jalan menuju lokasi, kondisi jalan sangat berbahaya sejak Kecamatan Turi, Sleman. Abu memadat di aspal, diguyur air hujan, membuat jalan jadi licin. Tidak tampak sepeda motor memacu lebih dari 50 km per jam. Bahkan, ada beberapa sepeda motor yang tampak dituntun. Pada perjalanan pulang, malam harinya, juga masih diguyur abu, berganti pasir, disusul air. Entah bagaimana kondisi pengungsi.
Semoga kondisi demikian lekas berakhir, dan membaik. Dan, bonek, atau kelompok pendukung kesebelasan lainnya, meniru aksi kemanusiaan Rizal, Budi, dan Oyek.
Pengetahuan awal saya terhadap bonek, alias gerombolan pendukung kesebelasan sepak bola asal Jawa Timur, adalah mereka punya riwayat bertindak anarki di lokasi pertandingan, dan di sejumlah daerah yang mereka lalui menuju pertandingan tersebut.
Dampak yang paling segar dalam ingatan saya, bonek jadi musuh warga di sekitar stasiun kereta api di Solo, Jawa Tengah, dan Lempuyangan, Yogyakarta. Kalau soal penyebab permusuhan itu, saya tidak tahu pasti. Tapi, media berhasil membuat saya punya kesan bonek yang memulai.
Adalah tiga warga Surabaya yang dengan mantap memperkenalkan diri sebagai bonek, Rizal, Oyek dan Budi (ketiganya berusia antara 20 tahun sampai 30 tahun). Kami berkenalan di kantor lembaga swadaya masyarakat Combine Resource Institution (CRI), di Jalan Kyai Haji Ali Maksum Nomor 183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, pada Kamis, 4 November 2010.
Saya ke kantor CRI untuk mencari tumpangan roda empat. Selama masa tanggap darurat Gunung Merapi, ada armada dari CRI yang bergerak ke posko-posko relawan komunitas Jalin Merapi, hampir setiap hari. Entah armada milik CRI, atau dari pihak lain yang membantu. Saya ingin lihat dampak Gunung Merapi terhadap warga yang tinggal di dekatnya.
Lokasi yang jauh, dan medan perjalanan yang berat karena terkena hujan abu, dan pasir, vulkanik, tentu melelahkan jika saya tempuh dengan sepeda motor. Sebelumnya, saya pastikan, kehadiran saya tidak merepotkan, dan benar-benar ada ruang di dalam kendaraan.
Kendaraan bonek tersebut memenuhi syarat saya. Tim Combine menitipkan logistik bantuan. Tujuan kami adalah posko Jalin Merapi di Pedukuhan Sedan, Desa Ketinggeng, Kecamatan Dukun, Magelang, dengan kontak relawan bernama Rey. Sekitar pukul 13.00 WIB kami tinggalkan kantor CRI.
Saya dapat kesan tentang bonek ini di sepanjang perjalanan. Rizal sudah lebih dulu di Yogyakarta, sejak hampir seminggu yang lalu, dibanding dua kawannya, untuk menyalurkan bantuan. Hari sebelumnya, Rabu, mereka mengantar logistik ke satu lokasi pengungsian di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Mereka cerita, sebelum berangkat, mengamen di Surabaya selama dua hari, dan mendapat Rp 6 juta. Duit inilah modal mereka untuk membantu.
Dari CRI, kami tiga kali berhenti. Untuk beli buah selama setengah jam, belanja bantuan, lagi, di sebuah pasar swalayan selama satu jam, dan makan siang selama setengah jam. Mereka harus menghabiskan modalnya, uang sekitar Rp 4, juta di pasar swalayan itu, karena harus segera pulang.
Pengalaman ini merombak kesan saya terhadap bonek yang anarki, yang berhasil dibenamkan oleh berita di media. Seharusnya, saya tidak pukul rata.
Yang harus dipukul rata adalah semua manusia punya kebutuhan untuk membantu, selain juga butuh dibantu. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Sudahlah, yang penting tindakannya, bukan istilahnya.
Kami tiba di lokasi sekitar pukul 16.30 WIB. Bonek dan para relawan yang ada di posko tersebut bergerak cepat memindahkan logistik bantuan dari mobil ke gudang. Ada seorang relawan perempuan yang berperan mencatat lalu lintas logistik. Katanya, dia seorang mahasiswi pasca sarjana.
Tidak ada pengungsi di posko ini, kecuali sang empunya rumah. Posko lebih sebagai tempat koordinasi puluhan relawan Jalin Merapi.
Rey menjelaskan, sasaran bantuan posko tersebut lebih kepada pengungsi yang menempati rumah-rumah pribadi warga. Menurutnya, pengungsi jenis tersebut luput dari bantuan pemerintah. Padahal, jumlahnya juga banyak, dari segi rumah yang ditempati, dan pengungsi per rumah. Bahkan, ada sekitar 200 pengungsi yang menempati satu rumah pribadi.
Harus diakui, barak pengungsian yang ada, entah itu menempati sekolah, atau bangunan perkantoran milik pemerintah atau swasta, tidak cukup menampung semua pengungsi. Rumah pribadi pun ditempati, perannya sama penting.
Hari itu, kondisi sangat memprihatinkan. Sejak beberapa hari sebelumnya, kampung ini, dan hampir sebagian besar Kabupaten Magelang, dan sebagian Sleman, diguyur hujan abu, pasir, dan air, silih berganti. Air bersih untuk MCK di posko tersebut sangat minim.
Sepanjang jalan menuju lokasi, kondisi jalan sangat berbahaya sejak Kecamatan Turi, Sleman. Abu memadat di aspal, diguyur air hujan, membuat jalan jadi licin. Tidak tampak sepeda motor memacu lebih dari 50 km per jam. Bahkan, ada beberapa sepeda motor yang tampak dituntun. Pada perjalanan pulang, malam harinya, juga masih diguyur abu, berganti pasir, disusul air. Entah bagaimana kondisi pengungsi.
Semoga kondisi demikian lekas berakhir, dan membaik. Dan, bonek, atau kelompok pendukung kesebelasan lainnya, meniru aksi kemanusiaan Rizal, Budi, dan Oyek.