Musim hujan di Puncak Merapi 2011
Saya bukan orang yang menyukai seremonial peringatan. Bukan peringatan satu tahun erupsi Gunung Merapi alasan saya untuk mencapai puncaknya pada 26 Oktober 2011 lalu. Kesamaan tanggal itu hanya kebetulan.
Hasilnya, dasar kawah Merapi tidak tampak saat saya mencapai puncak pada pukul 10.00 WIB. Kabut menyesaki kawah sampai ke bibirnya. Setidaknya selama 45 menit saya di puncak, kabut tersebut tidak berkurang. Pemandangan yang bisa kami lihat hanya ke arah sisi kami mendaki, yakni Utara.

Saya bukan orang yang menyukai seremonial peringatan. Bukan peringatan satu tahun erupsi Gunung Merapi alasan saya untuk mencapai puncaknya pada 26 Oktober 2011 lalu. Kesamaan tanggal itu hanya kebetulan.
Hasilnya, dasar kawah Merapi tidak tampak saat saya mencapai puncak pada pukul 10.00 WIB. Kabut menyesaki kawah sampai ke bibirnya. Setidaknya selama 45 menit saya di puncak, kabut tersebut tidak berkurang. Pemandangan yang bisa kami lihat hanya ke arah sisi kami mendaki, yakni Utara.
Bagian ketiga dari empat bagian.
Dirumahnya, di atas lahan seluas 1600 meter persegi, Wijayanto tidak hanya tinggal bersama anak istri, tapi juga berbagi dengan pengasuh kantor, pondok pesantren putri, dan ruang kelas play group Bina Anak Soleh (BIAS).
Pada bagian halaman, ada pondok bertingkat untuk tamu-tamu yang hendak menginap. Fungsi-fungsi tambahan itu sudah berjalan sejak sekitar 5 tahun lalu.
Konsep rumah Wijayanto bersifat terbuka, bisa berkembang, dan tanpa gaya tertentu. Banyak ruang untuk keluar masuk udara, dan cahaya. Tinggi atapnya 14 meter, tetap sejuk meski tanpa kipas, dan tanpa AC. Dia membangun rumahnya dari tanah kosong.
Dua tahun lalu pernah terjadi kebakaran, akibat ada yang membakar sampah di sebelah rumahnya, dengan korban dua mobil. “Rancangan tumbuh saja, berkembang, kurang ini tambah ini,” kata Wijayanto.
Sebagai pengasuh Yayasan BIAS, ada 90 putra putri di pondok pesantren yang harus diurus Wijayanto. Hampir semua bagian rumah, tanah miliknya, bisa dipakai BIAS. Baginya, BIAS adalah wadah untuk beramal, bukan untuk mengambil keuntungan. “Saya sudah menyatu (dengan BIAS), hidup saya itu untuk agama. Itu keberkahan rejeki, saya pegawai negeri, tapi anak-anak belum pernah kelaparan,” ucapnya.
Dirumahnya, di atas lahan seluas 1600 meter persegi, Wijayanto tidak hanya tinggal bersama anak istri, tapi juga berbagi dengan pengasuh kantor, pondok pesantren putri, dan ruang kelas play group Bina Anak Soleh (BIAS).
Pada bagian halaman, ada pondok bertingkat untuk tamu-tamu yang hendak menginap. Fungsi-fungsi tambahan itu sudah berjalan sejak sekitar 5 tahun lalu.
Konsep rumah Wijayanto bersifat terbuka, bisa berkembang, dan tanpa gaya tertentu. Banyak ruang untuk keluar masuk udara, dan cahaya. Tinggi atapnya 14 meter, tetap sejuk meski tanpa kipas, dan tanpa AC. Dia membangun rumahnya dari tanah kosong.
Dua tahun lalu pernah terjadi kebakaran, akibat ada yang membakar sampah di sebelah rumahnya, dengan korban dua mobil. “Rancangan tumbuh saja, berkembang, kurang ini tambah ini,” kata Wijayanto.
Sebagai pengasuh Yayasan BIAS, ada 90 putra putri di pondok pesantren yang harus diurus Wijayanto. Hampir semua bagian rumah, tanah miliknya, bisa dipakai BIAS. Baginya, BIAS adalah wadah untuk beramal, bukan untuk mengambil keuntungan. “Saya sudah menyatu (dengan BIAS), hidup saya itu untuk agama. Itu keberkahan rejeki, saya pegawai negeri, tapi anak-anak belum pernah kelaparan,” ucapnya.