HAYOOO, SIAPA YANG MAU HAJI? NABUNG YAAA, ANTRI YAAA! |
Btw, memang hanya pernah sekali itu aku sebagai freelance (bukan karena penugasan) menawarkan naskah cerita travel ke media, dan kebetulan laku dimuat. Sebutlah itu keberuntungan pemula. Sampai sekarang belum pernah coba lagi sih.
Waktu itu, aku buat cerita tentang kondisi terkini puncak Gunung Merapi, dari (angle) sudut pandang seorang pendaki, dengan memberi perbandingan dari sejak sebelum dan sesudah erupsi yang terjadi pada Oktober 2010. Cerita yang sederhana saja, tidak terlalu istimewa, dilengkapi lima foto biasa saja yang kubuat dengan sebuah kamera saku yang mbuh.
Aku tidak kenal editor media tersebut, editor itu juga tidak mengenal aku. Laporan itu juga bukan sebuah penugasan. Caraku menawarkan naskah, ya lewat alamat email resmi majalah itu.
Sebelumnya, aku kurang referensi bagaimana membuat cerita travel yang menarik. Referensi menulis di kepalaku, kebanyakan hanya berdasar menulis laporan berita, cerita-cerita komunitas, dan gaya hidup, dari pekerjaan tetap di kantor sebelumnya.
Beberapa hari lalu, aku mendapati sebuah website berjejaring berbahasa Inggris, berbasis di Amerika Serikat. Mereka menyediakan informasi dari dunia travel secara multimedia (teks, foto dan video). Dari website itu, aku mendapat tips, atau panduan, bagaimana menulis travel yang lebih baik. Judulnya sih "11 Secrets to Being a Successful Travel Journalist in 2014", aku terjemahkan menjadi "11 Rahasia Untuk Menjadi Seorang Jurnalis Perjalanan pada tahun 2014". Tajuk yang megah sekali rasanya yah.
Aku pikir akan bermanfaat jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Untuk siapa saja pemakai Bahasa Indonesia yang mau memproduksi cerita travel yang memikat. Perbedaannya toh cuma bahasa.
Eh, selain itu, tips itu sungguh mengikuti kondisi kekinian, mutakhir, alias kontemporer. Tidak disarankan lagi menceritakan kondisi yang terlihat di permukaan saja. Karena harus disadari, pembaca cerita perjalanan sekarang ini mempunyai akses terhadap apa yang terlihat lewat berbagai media teknologi digital, peranti gadget, peta elektronik online, sosial media, dan semacamnya.
Abaikan saja istilah "menjadi jurnalis travel" itu, jika dirasa terlalu berat. Panduan ini untuk siapa saja yang hendak melakukan perjalanan, dan ingin memproduksi cerita perjalanannya dengan keren. Syukur jika layak tayang di media massa dengan editorial. Perkara itu produk jurnalis atau bukan, biarkan itu jurnalis bersertifikat yang menilai. Niatkan saja untuk belajar memproduksi cerita travel perjalanan yang menarik.
Ini terjemahan bebasnya: