Saung Riha Caru di Area Dapur Pejaten, Jalan Pejaten Raya, Jakarta Selatan

Pertama kali aku makan nasi rawon di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta sekitar 13 tahun lalu, menurutku rasanya biasa saja. Sampai kemudian seorang kawan asal Jawa Timur mengoreksi, bahwa sebaiknya nasi rawon bukan yang seperti itu rasanya. Hmmm ...

Kawan yang sama kemudian menunjukkan tempat nasi rawon yang lebih mendekati hakikat, masih di Yogyakarta. Barulah aku mulai menyukainya. Yang pertama aku coba itu cenderung tawar, nah yang lebih mendekati hakikat itu rupanya sesuai dengan seleraku, berbumbu.

Jadi seleraku sebenarnya cenderung pada makanan yang berbumbu. Nah, pada konteks nasi rawon aku melihat kesamaannya dengan salah satu masakan emak kesukaanku, yakni soto padang. Berbumbu dengan potongan daging sapi yang lembut, bawang goreng, dan tauge. Jelas, perbedaannya adalah warna soto yang kuning kehijauan (atau sebaliknya?), sementara rawon ya hitam warnanya.

Perkara sotonya mau dipisah mangkuk atau dicampur itu cukuplah mereka yang masih melajang saja yang mempersoalkan hal remeh temeh demikian.

Saung Riha Caru di Area Dapur Pejaten, Jalan Pejaten Raya, Jakarta Selatan

Kembali ke nasi rawon, sudah lamaaa sekali aku nggak memakannya sampai kemudian salah seorang mentor memotret saya, Benny Nur Susanto memasang iklan di situs marketplace menjual nasi rawon di Jakarta Selatan, Jalan Pejaten Raya, di dalam komplek area Dapur Pejaten pada 21 Mei. Ingatan terhadap rasa nasi rawon itu pun kembali muncul.

Riha Caru nama warungnya, berarti Dapur Enak, berasal dari bahasa Dompu - Sumbawa, daerah asal manusia kesayangannya.

Kesempatan libur Hari Minggu kemarin kugunakan untuk mencobanya. Rasanya enak, puas, sesuai ekspektasi (atau ingatanku) terhadap nasi rawon yang hakiki menurut kawanku yang asal Jawa Timur itu.

Saung Riha Caru di Area Dapur Pejaten, Jalan Pejaten Raya, Jakarta Selatan

Dagingnya terasa empuk lembut, tanpa sangat kehilangan seratnya. Bumbu-bumbunya terasa ada bawang merah, bawang putih, sereh, lada, ketumbar sangrai, jahe, daun salam, lengkuas, kluwek, dan daun jeruk purut. Wuih, kau cobalah sendiri, yaaa ajak kawan-kawan juga boleh kalo cemas dibilang jomblo.

Aku dan Fakih Zakaria. Foto: Khairil Sangbima, di Sarang Komunitas Lebah, 2015

Sekitar September 2014 di sebuah grup WhatsApp yang kerap berganti-ganti judulnya--bahkan anggotanya chatting dengan cara mengganti judul grupnya--salah seorang mentor aku yakni Fakih Zakaria mengumumkan kegiatan Komunitas Lebah pada hari Idul Adha (kurban) tahun 1435 Hijriah yang kalau pada penanggalan Masehi akan jatuh pada 5 Oktober 2014.

Aku pun tertarik. Kegiatan tersebut bernama Bahagiakan Mereka dengan Qurbanmu (mereka singkat BMQ) di Kampung Kanoman, Cibeber, Cianjur, Jawa Barat. Mereka menyalurkan 118 ekor kambing dan 2 ekor sapi.

Ketertarikanku adalah karena kemandirian mereka yang terdiri dari manusia-manusia biasa yang berkomunitas secara longgar, kemudian bisa mengumpulkan donasi dari berbagai sumber, dan pilihan lokasinya.

Salah satu sudut Owl House Coffee

"Yes We're Open" demikian aksara yang tertera (hadeh) di poster yang terpasang di akun Instagram Owl House Coffee hari Rabu 10 Juni lalu. Aku lihatnya pada harinya sewaktu masih di kantor siang hari, lalu segera meniatkan dalam hati untuk berkunjung sepulang kantor nanti.

Kata agamaku, baru niat saja kita sudah dapat pahala, apalagi nanti kalau sudah di lokasi, dapat kopinya kita.

Biasanya keluar kantor seusai azan Isya, hari itu aku keluar persis jam 5. Segera menuju shelter Transjakarta Dukuh Atas, dan seterusnya ... sampai akhirnya aku tiba dengan selamat, utuh, tanpa kurang suatu apa pun di Owl House Coffee 2,5 jam kemudian.

Butuh colokan wak? Adaaa

Owl House Coffee ini beralamat di Jalan Pos Pengumben Nomor 5, di pertigaannya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Silakan mengira-ngira sendiri bagaimana kemacetan yang harus kulalui. Well, sebenarnya bisa setengah jam lebih cepat seandainya aku nggak salah turun Transjakarta.  

Ucapan salam menurut agamaku dari empunya, yang pernah aku jumpai sebelumnya di kantor Serikat Petani Indonesia pada suatu acara Coffee Tasting biji asal Bengkulu, yang membuatku yakin bahwa aku telah sampai di tempatnya. Lha, karena dari luar kulihat kursi-kursinya masih terbalik di atas meja.

Rupanya itu hari pertama mereka dan belum banyak pengunjung. Bersyukur, jadi bisa tanya-tanya cerita kopi mereka, dan bisa sedikit dapat wawasan teknik baru.

Wah, nggak kebayang kalau sudah banyak pengunjung, baristanya pasti sibuk sekali, sampai nggak bisa (/mau) cerita dari mana asal biji kopinya seperti barista di salah satu toko kopi di kawasan Blok M.

Waktu itu baru ada dua biji kopi yang aku coba, dua-duanya segar, diseduh pour over dengan Kono. Sweetness, bagian rasa yang paling kuincar dari kopi, tersaji baik di cairan kopi yang tidak kental dan tidak encer.

Single Origin Specialty Coffee Pour Over with Kono

Andalan mereka adalah single origin dengan metode seduh macam-macam yang pour over. Kalian cobalah. Sampaikan ke baristanya, rasa kopi macam apa yang paling kalian inginkan, dan tunggu. Semoga sesuai harapan. Kalau aku sih Yes yah, nggak tahu deh kalau mas mas dan mbak mbak.

Kalau untuk Toko Kopi (Coffee Shop/ Kedai Kopi/ Warung Kopi) di Jakarta Barat, aku belum tahu lain deh. Ya harap maklum yak, baru juga dua setengah tahun di Jakarta.