Proklamasi milik semuanya ...

Friday, August 27, 2010

Selasa, 17 Agustus 2010

Upacara proklamasi 17 Agustus, biasanya diperingati secara formal di lapangan terbuka. Diikuti peserta yang serba berseragam, dengan kaidah protokoler tertentu. Masyarakat umum hanya bisa menonton, takjub menyaksikan semua ketertiban, atau bisa Saya sebut juga 'kekakuan', ritual tersebut.

Generasi muda di Sulang Kidul, Desa Patalan, Jetis, Bantul, coba patahkan kekakuan itu. Sejak 2008, mereka gelar peringatan detik-detik proklamasi yang sangat cair. Nah, digelar lagi pada 17 Agustus 2010.

Semua warga bisa jadi peserta dengan khidmat, dan bebas dari seragam. Ada beberapa peserta berusia lanjut dengan pakaian sehari-hari. Ada pula para petani bercelana pendek, bercaping, dan memakai sepatu bot. Kostum itu tidak dibuat-buat, melainkan karena para petani itu sebelumnya memang sedang di lahan. Apa adanya.
Peserta Upacara. Foto: @si_enthon9


Sayang, Saya tidak menyaksikan langsung momen unik itu, karena sedang memburu narasumber berita untuk tugas kantor, yaitu upacara resmi Pemda Bantul, di lapangan Desa Trirenggo. Saya juga telat tahu info ini. Sekitar pukul 12.00 saya kirim pesan pendek ke ponsel Veta Mandra (warga Pleret, Bantul) menanyakan di mana ada upacara yang unik. Setengah jam kemudian, Veta menjawab ada di kampung Aam Krisnadi. Dari Aam, alias @si_enthon9, yang ternyata ketua panitia, Saya dapat semua cerita ini.
Rangkaian upacara mengikuti pakem. Ada komandan, dan inspektur upacara yang membacakan amanat. Ada pengibaran bendera dengan iringan lagu Indonesia Raya. Ada juga pengelompokan pasukan, meski hanya berdasar kriteria umur, dan jenis kelamin. Jumlah peserta hampir 200 orang. Upacara dipimpin oleh tokoh masyarakat, Harsono, dan komandan upacara, Hendra.
Suasana upacara. Foto: @si_enthon9
Harsono adalah seorang guru di sebuah MAN di Gunungkidul, sementara Hendra seorang Satpam. Hendra mengenakan kostum layaknya tentara. Kostum itu dipinjamkan Aam, yang mendapatnya dari lemari sang kakek yang veteran tentara.

Upacara yang bersahaja ini digelar di lapangan volley, di antara bentuk U kandang sapi di kampung tersebut. Kesederhanaan tampak dari tiang bendera yang terbuat dari bambu yang sudah miring, dan pakaian yang dikenakan peserta. Satu-satunya kelompok orang yang berseragam adalah pasukan pengibar bendera. Ritual upacara usai dalam 30 menit, lalu diakhiri dengan penyerahan hadiah lomba tujuh belasan.
Pengibar bendera. Foto: @si_enthon9
Aam mengatakan, ide dasar sejak upacara itu diadakan adalah keinginan pemuda kampung itu agar semua golongan masyarakat dapat mengikuti upacara. Selama ini, upacara digelar oleh instansi pemerintahan, atau sekolah, dan hanya dapat diikuti kalangan terbatas. Padahal, semua ingin merayakan, dan mengukuhkan jiwa nasionalisme. “Si mbah-mbah itu belum pernah ikut upacara,” ucap lulusan sekolah tinggi komputer ini.

Upacara itu menghabiskan biaya sebesar Rp150.000 untuk persewaan pengeras suara, dan kebersihan. Nilai hadiah yang dibagikan sebesar Rp270.000 yang untuk anak-anak, lalu ada beberapa ekor bebek untuk pemenang lomba dewasa. Sumber dana dari sejumlah donatur warga setempat yang kondisi ekonominya relatif kaya. Tidak ada iuran wajib per keluarga untuk tahun ini, mengingat pengeluaran warga selama Ramadan, bulan sebelumnya, sudah relatif besar.

Pesan moral yang saya dapat adalah menjadi peserta upacara adalah hak setiap orang. Kalau dilarang, bersatulah, buatlah upacara sendiri. Dan, kita semua bisa bertanya: MERDEKA?

You Might Also Like

4 comments

  1. Anak-anak muda yang kreatif. Ah, andai saja juga terjadi di daerahku (Aceh), dan daerah-daerah lain se Indonesia.

    ReplyDelete
  2. Ide Menarik..

    salute..

    Ning ketoke neng daerahku do ra kober.. :))

    ReplyDelete
  3. khan di Aceh juga terjadi. cuma berbeda kualitas, kuantitas dan gayanya saja.

    ReplyDelete