Nyaris tersasar di Merbabu

Friday, August 27, 2010

Sabtu, 19 April 2008


Saya sudah mengajak tiga orang lewat sms, untuk mendaki gunung dari Selo, Boyolali, hari ini, tapi tidak ada yang mengiyakan.


Saya bertekad naik meski sendiri. Apalagi sms balasan dari senior yang kuajak, Mas Andi, agak menantang: "kamu kan dah pernah, naik aja aman kok".


Berangkat pukul 15.00 dari Jogja dengan sepeda motor menuju Selo. Mencoba jalur Cepogo-Boyolali, yang dulu pernah kulalui. Tapi, dulu sebaliknya, dari Selo menuju Jogja malam hari. Saya harus berhenti untuk tanya jalan yang benar hampir di setiap kali menemukan persimpangan, sejak melewati Pasar Deles, di Klaten.


Logistik yang saya bawa ringkas saja, termuat dalam tas daypack kapasitas 8 liter. Berisi obat-obatan pribadi, dan makanan-minuman serba instan, tidak ada yang perlu dimasak.


Rencananya, saya naik malam, sampai puncak pagi, siang turun, sore sudah tiba di basecamp. Secara perencanaan waktu tidak ada masalah.


Sampai di Selo pukul 17.00. Lumayan hemat 45 menit dibanding lewat Muntilan-Ketep. Pemberhentian pertama di Masjid yang dibangun oleh MAPALA UNISI.


Saya belum putuskan naik Merbabu atau Merapi. Saya cuma punya niat naik gunung, olahraga, dan memotret.


Saya pilih malam minggu naik karena berharap ramai. Jadi, bisa cari kawan jalan bareng. Kecil kemungkinan tersesat, karena bisa mengikuti rombongan yang ada. Untuk Merapi saya belum berani jalan sendiri, tapi untuk Merbabu saya berani.


Naik ke New Selo, ada rombongan yang baru turun, dan sedang istirahat di situ. Informasi dari mereka: lumayan banyak yang naik, baru saja ada dua rombongan yang naik. Oke, saya bulatkan niat pilih Merbabu. Lagipula, ingin memotret wujud Merapi dari sisi seberang.


Maghrib hujan, saya belum makan. Strategi bakunya adalah sesampai sore harus makan dulu, lalu tidur beberapa jam, supaya ada tenaga untuk naik.


Saya beli nasi tongseng dibungkus di sebuah warung yang ada pemandu Merapi-nya. Naik ke arah basecamp Merbabu lewat jalan di sebelah SMP, saya bertemu persimpangan yang membingungkan, saya pilih ambil yang ke arah atas, ternyata salah.


Sudah gelap, rumah-rumah tidak ada yang menyalakan lampu, seperti tidak berpenghuni, tidak ada orang di jalan untuk kutanyai, kembali ke simpang tadi. Saya mampir di Masjid yang ada di persimpangan itu, makan, Maghrib dan Isya di situ.


Di Masjid itu ada dua orang yang baru selesai makan. Kami berkenalan, Winaro dan Akbar namanya, dari Sukoharjo. Mereka berencana naik Merbabu. Mereka berangkat berboncengan dengan sepeda motor. Akbar bilang pernah ke Merapi, Lawu, dan Sindoro. Winarno belum pernah mendaki, tapi tampaknya cukup kuat.



Kami ngobrol. Saya bilang lagi cari barengan, tapi yang sudah pernah. Saya sendiri sudah pernah tapi tetap belum bisa dibilang hafal, jadi masih ada kemungkinan sesat. Saya hanya pernah dua kali mendaki Merbabu hingga Puncak.


Pertama kali, tahun 2000, ikut jadi peserta pendakian massal yang dibuat Mapala Unisi. Dari Jogja kami naik truk Polisi menuju Selo sore hari, dan malamnya kami mulai mendaki. Turun di Selo besok sorenya, lalu malamnya dengan truk bak terbuka kami kembali ke Jogja. Itu adalah pengalaman pertama kali saya mendaki gunung.


Kedua, Agustus 2006, dengan Mbak Ami dan Mas Andi. Dengan sepeda motor kami berangkat dari Jogja menuju Selo. Naik dari Selo malam hari, lantas turun di Wekas. Tidak ada angkutan umum dari Wekas menuju Ketep, jadi kami pilih naik ojek untuk kembali ke Selo, karena sepeda motor kami parkir di basecamp Selo. Perjalanan dari Wekas menuju Selo menyita waktu satu jam, wuah.


Kami menuju basecamp Merbabu usai makan. Di basecamp Merbabu kita akan dikenakan retribusi Rp2500 per orang. Ada dua rombongan di situ, Mapagama dari UGM Yogyakarta, dan Mapala lainnya (lupa namanya), juga dari Yogyakarta.


Mapagama mulai berangkat naik selang setengah jam setelah kami tiba. Satu jam kemudian, Mapala berikutnya berangkat. Saya heran, kenapa kedua kawan baru itu tidak ikut rombongan kedua Mapala tadi. Padahal, sudah Saya sarankan mereka untuk ikut, sebab mau tidur dulu, setidak satu jam karena lelah di perjalanan tadi. Dan, jalan dengan rombongan Mapala lebih terjamin dibanding jalan dengan Saya.


Saya, Winaro, dan Akbar berangkat naik jam 22.00. Satu jam perjalanan meninggalkan basecamp, Saya yang terpilih memimpin, dengan resmi menyatakan kami tersesat. Jalan setapak mengabur, lalu buntu dihadang semak-semak rapat yang tinggi.


Saya pilih balik hadap, kembali mencari setapak yang lebih jelas ke belakang. Bertemu persimpangan yang agak jelas, kami coba ambil arah yang berbeda dengan sebelumnya, tadi pilih lurus, kali ini pilih kanan. Kami ikuti, jalan itu condong ke kiri, ke kiri lagi, lagi ke kiri, dan buntu. Bodohnya, itu buntu yang sama dengan buntu yang tadi. Malu, tapi untung gelap tidak ada yang melihat, hehe ...


Balik hadap lagi, kali ini pilih turun lebih jauh, sampai ketemu jalan setapak yang benar-benar jelas. Ok, akhirnya ketemu jalan setapak yang agak jelas itu, balik hadap lagi, mulai jalan naik lagi.


Satu jam kemudian, kami bertemu tempat yang cukup terlindung angin. Kami putuskan istirahat di situ. Ada satu tenda yang mengisi, kami istirahat di sebelahnya. Seseorang keluar dari tenda itu, kenalan, Imam namanya. Rupanya rombongan Mapagama tadi. Berarti mereka jalan amat santai, karena rombongan Saya juga santai. Setengah jam istirahat di situ kami mulai jalan lagi.


Cuaca sangat bersahabat di sepanjang perjalanan, purnama, tidak hujan, minim angin, jadi kami tidak terlalu kedinginan. Hanya kaki yang terasa sangat tidak nyaman serasa berjalan di atas es, karena kaki kami basah, akibat menginjak banyak genangan air.


Satu jam kemudian kami temukan lagi tempat yang cukup terlindung, bisa istirahat lama lagi. Sudah ada tenda terpancang di situ, rupanya itu rombongan Mapala yang satu lagi. Kami istirahat satu jam di situ.


Pukul 04.30 setelah mendengar suara azan yang dibawa angin entah dari mana asalnya, Akbar, dan Winaro mengajak shalat subuh di atas matras. Tak ada air, jadi kami tayamum. Wah, ini pengalaman pertama Saya shalat di ketinggian ini dan kondisi gemetaran karena kedinginan.


Ketika kami mulai jalan lagi, dan matahari mulai terang, kami sadar: tadi salah kiblat.


Pukul 5.30 di sabana, kami berhenti istirahat menikmati pemandangan matahari terbit. Ada tiga tenda di situ, penghuninya juga keluar untuk menikmati pemandangan.


Akbar seperti yang dilakukan saat dua kali istirahat sebelumnya, bakar-bakar sampah yang ada di sekitar situ, untuk menghangatkan kaki.


Kami berkenalan dengan tiga orang penghuni salah satu rombongan di tenda itu. Dua laki-laki, satu perempuan, yang kuingat namanya cuma si botak: Kadek. Dua orang lagi kurang jelas terdengar namanya ketika kenalan. Kami istirahat satu jam di situ.


Pukul 08.30 kami sampai di puncak. Ramai, ada sekitar 20 orang yang sudah tiba lebih dulu.



Saya letakkan semua isi tas di atas ponco, yang saya gelar di tanah, agar lembabnya hilang lembabnya. Sepatu dan kaus kaki dijemur. Tadinya memang sangat basah. Rasanya cukup menyiksa, seperti melangkah di atas es sepanjang jalan. Langit hanya cerah selama setengah jam, lalu matahari tertutup awan tipis, ditambah kabut. Tidak cukup untuk mengeringkan sepatu dan kaus kaki.


Pukul 10.00 kami akan turun. Eh, rombongan Kadek malah baru sampai puncak.


Setelah satu jam turun, kami istirahat setengah jam di sebuah padang rumput sabana. Sepatu Saya lepas saja. Merepotkan, berkali-kali simpul tali sepatu terurai, mungkin karena basah. Capek bolak-balik berhenti untuk menyimpul lagi.


Jalan lagi, satu jam kemudian hujan, Saya segera pakai raincoat. Ceritanya uji coba, karena raincoat itu baru dibeli sehari sebelum berangkat, seharga Rp95.000-an.


Setengah jam setelah bergerak lagi, kami berpapasan dengan rombongan Mapagama yang jalan naik. Satu jam kemudian, kami berpapasan dengan rombongan Mapala yang satu lagi.


Raincoat mahal jelek, masih tembus juga. Lalu, Saya lapisi dengan ponco di luarnya. Fungsinya juga untuk menutupi daypack, karena coverbag sudah tembus air. Punggung dan bahu mulai nyeri, mungkin karena bungkuk terus sepanjang jalan.


Pukul 15.00, setelah turunan curam habis, dan mulai landai, Saya mulai curiga. Sepertinya, salah jalan. Akbar pun mulai bertanya-tanya, apa kita tidak salah jalan. 200 meter di depan Saya lihat perkebunan, mungkin tanaman kol, entahlah, Saya buruk dalam pelajaran biologi.


Saya pun yakin sudah, yakin tersesat. Dari sini sudah kedengaran deru mesin kendaraan, tapi Saya yakin jalan raya masih jauh, suara itu bisa saja di bawa angin. Saya putuskan jalan terus berharap bisa ketemu orang di kebun untuk ditanyai, karena kembali ke atas mencari jalan yang benar pun, Saya tak tahu ke arah mana, dan yang mana persimpangannya. Sejak landai memang ada banyak sekali persimpangan ke kanan dan kiri.


Akhirnya bertemu orang di kebun itu, ia sedang berteduh dari hujan di gubuk.


Ia jelaskan, masih sekitar dua kilometer lagi ke jalan raya, dan dari jalan raya ke Selo lima kilometer lagi, lalu satu kilometer lagi untuk naik ke basecamp. Dari jalan raya juga belum tentu ada angkutan umum untuk ke Selo-nya. Jadi, ia sarankan balik hadap saja.


Ia cerita, pernah ada rombongan pendaki juga tersesat ke situ sore hari. Ia sudah menyarankan mereka untuk balik hadap kembali ke jalan yang benar. Tapi, rombongan itu malah terus ke jalan raya, akhirnya jam 21.00 mereka baru tiba di basecamp.


Saya katakan, jika balik hadap pun, tidak tahu mana persimpangannya dan ke arah mana. Ia bilang mau antar, cuma tunggu hujan reda. Supaya cepat, Saya pinjamkan. Toh, Saya masih pake raincoat, dan hujan tinggal gerimis. Setelah menunjukkan jalannya ternyata memang benar, mending balik hadap. Sebetulnya cuma menyimpang satu kilometer, tapi kalau kami putuskan terus sampai jalan raya bisa sampai 10 kilometer.


Jalan sudah ketemu, ia mau kembali ke gubuknya. Sebelum lupa, Saya tanya namanya: Topan. Tadinya, ia mau mengembalikan ponco, tapi karena masih hujan, dan daripada ia sakit karena harus berhujan-hujan sejauh satu kilometer, Saya hibahkan saja. Semoga layak sebagai ucapan terima kasih.


Kami tiba di basecamp jam 16.00. Segera memanaskan mesin motor. Kami berpisah. Sebelumnya, Saya cuma bisa minta maaf karena menyesatkan. Mereka mafhum, tidak protes sedikitpun.


Pukul 17.00 turun dari basecamp. Saya mampir makan sate dulu. karena sudah sejak setengah perjalanan tadi Saya kelaparan, masuk angin pula. Sepanjang perjalanan turun hanya makan biskuit kering.


Jalan pulang pilih lewat jalan yang sama dengan jalan pergi. Pertimbangannya, jika lewat Ketep, Saya terlalu lelah untuk menghadapi jalannya yang naik turun berkali-kali. Baru setengah jam jalan, jari tengah tangan kananku mendadak kram karena kedinginan. Saya pilih berhenti dulu, terlalu berbahaya untuk lanjut, gas sulit dikendalikan. Jari-jari tangan kukibas-kibaskan, sampai benar-benar lega.


Mungkin karena lelah, mungkin karena gelap, dan Saya memang belum hafal, jalan pulang berbeda dengan ketika pergi. Dari Jatinom, tidak seperti tadi, seharusnya Saya tembus Manisrenggo, tapi Saya malah tembus jalan utama Kota Klaten. Waktu perjalanan pulang malah lebih lama 20 menit dibanding ketika pergi. Tapi, menurutku masih tetap lebih cepat dibanding lewat Ketep.

You Might Also Like

6 comments

  1. Lumayan informasi rutenya. thx for sharing

    ReplyDelete
  2. wah,,, bagus pendakian nya. selamat telah kembali pulang

    ReplyDelete
  3. Iya, sama-sama. terima kasih juga sudah menyimak.

    ReplyDelete
  4. aku dulu terinspirasi naik gunung oleh Pak Jantho guru bahasa indonesia saat aku smp.Dia banyak bercerita tentang pengalaman serunya naik gunung ke kami disela -sela pelajaran BI.Tapi baru mulai SMA naik gunung diajak kakak kelas kala itu.Kami berangkat ber tiga ,cewek smua.Cuma Bawa bawaan seadanya(tenda juga ga bawa-hehehe).Kami ikut rombongan anak Muntilan Kala itu yang lebih berpengalaman.Eh tersesat juga.muter situ situ aja padahal udah bawa peta

    ReplyDelete
  5. Hadeh, jangan pernah meremehkan gunung apapun. Persiapan itu penting.

    ReplyDelete