Busur yang Dirindukan

Sunday, September 20, 2015

Bilik pemandian jenazah almarhum
Kebingungan pertamaku sehingga harus minta pendapat busurku adalah ketika harus memilih jurusan (?) IPA atau IPS, ketika hendak naik kelas tiga SMA di Lhokseumawe.

Sebelumnya tentu aku mengalami kebingungan-kebingungan lainnya namun hanya hal-hal kecil, tidak berpengaruh besar terhadap masa depan. Seperti ketika memilih warna dan motif baju, dan memilih sepatu, memilih makan ini atau itu, yang kumaksud dengan hal-hal kecil itu. 

Sejak pertama kali, mengenai hal-hal besar yang berpengaruh di masa depan maupun hal-hal sepele, busur itu selalu menyerahkan kembali pilihan-pilihan tersebut kepadaku selama pilihan-pilihan tersebut tidak bertentangan dengan agama.  
"Ya terserah abang, ya terserah heru", selalu demikian jawabannya.   

Mereka, kedua orang tuaku, bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, hanya lulus dari SMA dan SMP. Aku juga meragukan mereka pernah membaca Kahlil Gibran, yang menggubah "Anak-anakmu". 

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia merenggangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan

Aku tidak tahu darimana datangnya kebijaksanaan hidup mereka. Yang pasti aku tak menemukan pelajaran tersebut di bangku kuliah yang mengajarkan berbagai macam pandangan kebijaksanaan. 

Busur itu melepaskan panah dengan gembira dan ikhlas, tanpa pernah mengharap kembali. Kurasa kebijaksanaan itu datang dari teguhnya keimanan mereka, yang sangat kuharapkan aku pun mewarisinya. 

Sebagai anak panah, tak ada tuntutan untuk kembali. Anak panah hanya mampu menyimpan rindu yang tak mampu untuk dibunuh.  

Empat hari lagi 10 Dzulhijjah 1436 H. Pada tanggal yang sama tahun lalu, busur itu meninggalkan warisan rekaman yang berisi suaranya yang lirih melantunkan takbir. Sejak beberapa minggu lalu suara lirih itu terngiang, bersama bau badannya sewaktu aku belia. 

Busur yang dirindukan itu telah tiada, semoga khusnul khotimah. Karena hidup tidak berjalan mundur, dan tidak pula berada di masa lalu. 

Leeds, 2015.

You Might Also Like

2 comments