Intersubjektivitas Rasa

Monday, February 22, 2016

Ikan Sambal Suwir Cakalang. Buatku pedas sekali, buatmu mungkin pedas saja.
Ikan Sambal Suwir Cakalang. Buatku pedas sekali, buatmu mungkin pedas saja.
Tahun 2009. Aku sedang bekerja sebagai reporter edisi mingguan media massa koran Harian Jogja, yang berarti aku, salah satunya, melaporkan perihal rasa di halaman KULINER, ihwal sensasi yang kita (subjek) terima ketika mengkonsumsi produk kuliner.

Sebagai profesional, aku tidak pernah menganggap tugas apapun enteng, aku selalu menganggap setiap tugas dengan sangat serius.

Aku dapat referensi penting pertama mengenai rasa dari satu warung sup bernama L'hisaa (nama yang... entah apa artinya) di Jalan Moses Gatotkaca, Mrican, Sleman. Dari pemilik warung itu, aku pertama kalinya melatih lidah untuk mengurai rasa-rasa yang alami dan aku suka.

Melaporkannya adalah hal yang berbeda. Objektivitas sebagai salah satu yang dijunjung tinggi reporter agar dapat dipercaya independensinya bergeser menjadi intersubjektif. Apa itu? Baca terus yah.

Berpegang teguh dengan pelajaran dari beberapa senior di dunia sastra supaya "Gambarkan, bukan katakan," aku berpantang hanya bilang enak, lezat, maknyus. Aku memilih untuk menyebut bahan-bahan dan bagaimana diprosesnya, daripada menyebut rasa tersebut.

Untuk membuat laporan, meminjam mulut orang lain yang sudah merasakan guna membangun opini atau malah mencari kata-kata yang pas adalah hal yang biasa. Aku ingin sesuatu yang lebih otoritatif, dibandingkan orang yang kebetulan ada di lokasi kuliner tersebut. Darimana otoritatif itu datang?

Aku lupa entah dari mana asal muasal idenya, aku menggunakan pendekatan komunitas. Aku pakai opini dari anggota komunitas kuliner Jalansutra atau kelompok mana pun yang intens di dunia kuliner tertentu yang ingin kulaporkan.

Dalam pikiranku, orang-orang yang aktif berkomunitas, punya minat yang sama dan intens saling bertukar opini sehingga wawasan mereka kaya, dan, yeah otoritatif. Setidaknya, lebih bisa dipercaya dibanding aku.

Pendekatan komunitas tersebut kupakai untuk dua kepentingan. Pertama, untuk menentukan penjual kuliner untuk diliput berdasar tema yang kumau. Kedua, untuk minta opini mereka terhadap kuliner yang sudah kupilih untuk diliput.

Demikian secara kata-kata. Bagaimana dengan gambar? Tidak ada yang terlalu istimewa dengan fotografi kuliner yang pernah kulakukan. Pernah memotret satu restoran agak mewah dekat sungai Gadjah Wong untuk sebuah majalah Food Service. Foto-fotoku tidak terlalu istimewa.

Adakah yang bisa merasakan laporan kuliner? Apakah liputan kuliner memberikan dampak? Pertanyaan pertama rasanya agak membingungkan. Laporan bukan untuk dirasakan, tapi dijadikan referensi. Kecuali laporan tersebut memakai pendekatan jurnalisme sastrawi, mungkin bisa ada yang merasakan.

Pertanyaan kedua, aku mengiyakan untuk usaha kuliner yang baru dibuka, mungkin masih kurang dari satu tahun. Laporan kuliner di media bisa jadi ajang promosi buat penjual yang baru mulai karena masih perlu promosi di media massa sesering mungkin untuk dikenal luas.

Buat penjual kuliner yang sudah cukup lama dan terkenal, apalagi sudah ada tulisan "SEJAK [sekian tahun]" di papan namanya, mendapat tempat di media massa bisa dikatakan sebagai penegasan saja ke masyarakat.

Sampai di sini, aku akan cerita kenapa aku tergerak buat menuliskan cerita ini. Gara-garanya film Burnt (2015). Film produksi Hollywood yang dibintangi Bradley Cooper ini berkisah tentang perjalanan seorang koki yang ingin mendapat bintang di sebuah kitab suci tentang restoran dan hotel bernama Michelin Guide.

Michelin Guide ini kitab yang diperbarui tiap tahun. Mendapat tanda bintang di Michelin Guide membutuhkan kerja keras, semakin banyak bintang, semakin keras kau harus bekerja.

Kenapa Michelin Guide begitu disegani? Daripada mendapat tempat di media massa manapun, oleh kritikus-kritikus kuliner di media mana saja, lebih penting mendapat tempat di Michelin Guide.

Independensi dan cara kerja dari reporter kitab Michelin Guide adalah kunci. Michelin Guide bekerja dalam senyap. Identitas reporternya anonim. Jika satu restoran yang sudah mendapat pujian di media nasional dan atau sudah pernah mendapat bintang di edisi sebelumnya, kemudian tidak mendapat bintang di kitab Michelin edisi berikutnya, bisa jadi runtuhlah reputasi restoran tersebut.

Bukankah cara kerja yang demikian yang membuat kita percaya pada suatu laporan? Mungkin, tidak bisa diterapkan pada semua bentuk laporan yah, tapi independensi adalah kunci kredibilitas, kedapatdipercayaan.

Kesucian Michelin Guide bukannya tanpa kritik. Banyak kritik misalnya, ada urusan apa sebuah merek ban (Ya, Michelin adalah merek ban itu) dengan restoran, Michelin hanya mengunjungi restoran kelas premium, dan selera para reporter kuliner Michelin Guide yang cenderung Perancis klasik kelas atas.

Mari kita review poin-poin di atas. Ada komunitas Jalansutra yang intens berdiskusi sehingga anggotanya punya referensi rasa yang sama. Ada Michelin Guide yang menawarkan referensi rasa yang sama yakni restoran premium dengan kecenderungan selera Perancis dan dipercaya oleh publik. Ini semua soal intersubjektivitas.

Semua tentang laporan kuliner yang kubuat mengimani intersubjektivitas rasa. Bahwa rasa yang kau rasakan, bisa sama dengan yang aku rasakan. Rasa yang dirasakan oleh satu subjek, dirasakan juga oleh subjek yang lain. Namun intersubjektivitas rasa mensyaratkan latar belakang perpustakaan rasa yang sama antar subjek, bisa secara alamiah dan untungnya bisa juga karena dilatih.

Secara alamiah, sebagai contoh, aku pernah beberapa kali makan bersama saudara/i-ku tercinta, kami kerap setuju pada sesuatu yang enak dan tidak enak. Baik ketika kami makan bersama, maupun di waktu yang berbeda. Beberapa kali, aku minta referensi adikku untuk Mi Aceh yang enak di suatu daerah, dibandingkan orang lain karena sudah terbukti yang adik aku bilang enak, enak juga buatku, vice versa.

Aku dan saudara/i-ku punya perpustakaan rasa yang sama secara alamiah. Penyebabnya, karena mungkin karena kami sedarah, tinggal seatap bertahun-tahun, dan mengkonsumsi produk kuliner dari sumber yang sama bertahun-tahun.

Bocoran, kami punya cara yang sama untuk mengapresiasi masakan enak ketika makan Mi Aceh bersama. Ketika makanan itu enak, biasanya kami mengangguk-anggukan kepala pelan-pelan pada beberapa suapan awal. Tetapi, kalau kami malah menggeleng-gelengkan kepala, itu berarti makanan itu suangat uenak suekali buanget.

Bahwa intersubjektifitas rasa bisa dicapai dengan dilatih, dibuktikan oleh Coffee Quality Institute yang melatih orang untuk menjadi Q-Grader (orang yang berhak memberikan penilaian / skoring pada kopi dengan skala 1 sampai 100). Peserta pelatihan Q-Grader punya latar belakang rasa yang berbeda-beda tadinya. Melalui pelatihan, mereka jadi punya perpustakaan rasa yang sama.

Ada kasus lain di mana beberapa kawanku di Yogyakarta sepertinya mereka punya intersubjektifitas rasa yang sama, mungkin karena sesama suka makan di angkringan, untuk bilang bahwa produk kopi iklannya yang dibintangi oleh seorang penyanyi balada Indonesia itu tidak enak.

Bagaimana denganmu? Masih suka berdebat tentang rasa dengan kawanmu? Coba periksa perpustakaan rasa kalian, kalau tidak sama ya wajar.

You Might Also Like

1 comments

  1. Wah, habis baca artikel ini jadi dapat pengetahuan tambahan di balik laporan review kuliner. :D

    Objektivitas vs intersubjektivitas ini bahasan yang menarik. Yang menjadi tantangan buatku adalah bagaimana menjelaskan kepada orang ketika mereka bertanya, "makanan X ini enaknya di mana?".

    Tapi ya itu, apa yang menurut kita enak, apa yang menurut sebagian orang enak, belum tentu terasa enak buat orang lain. Berusaha agar objektif tapi akhirnya penilaian akhir adalah sesuatu yang subjektif. :D

    ReplyDelete