Kehilangan Manusia

Tuesday, April 12, 2016

Emak di latar belakang, Labuhan Batu, 2015.
Masih ingatkah engkau pada kehilangan manusia yang pertama kali, yang membuatmu terduduk tepekur karena yang hilang tersebut tidak mungkin tergantikan? (Aku mengasumsikan pembaca blog ini adalah manusia dewasa yang sudah pernah kehilangan sesuatu).

Beberapa hari ini, entah kenapa akalku membawa saat kehilangan pertama itu lagi. Kehilangan manusia adalah kehilangan sesuatu yang tidak bisa tergantikan.

Tuhan menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing, kau tidak bisa membandingkan, tidak bisa menyamaratakan seorang manusia satu dengan manusia lainnya, hanya dengan bekal beberapa kesamaan latar belakangnya. Tidak.

Kawan, tidak semua wisatawan Cina itu dungu, tidak semua imigran asal India, Pakistan, dan Bangladesh di Inggris itu ignorant, dan tidak semua pelajar asal Indonesia dan Malaysia di Inggris itu sopan.

Nama seoarang manusia itu Roni (Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, memberikan kedamaian dan kelapangan di alam kuburnya dan memasukkannya ke surga yang abadi). Dia wafat pada saat aku SMP di Lhokseumawe. Aku terima kabar meninggalnya dari Nora, tetangga sebelah rumah di rumahnya.

"Eh Her, udah dengar belum, Bang Roni meninggal kemarin," kata Nora kala itu.

Punggungku seketika bersandar ke pilar di teras rumahnya, kemudian melorot hingga aku terduduk. Bingung. Ini pengalaman pertama buatku.

Bang Roni bukanlah kawan yang sangat akrab denganku pada saat itu, bukan pula kawan yang sudah bertahun-tahun, malahan kami baru berkawan kurang dari setahun.

Yang membuat kehilangan itu demikian terasa adalah karena pada saat itu kami justru baru saja akrab. Seperti berbagai keakraban lainnya, tentu karena didorong oleh minat yang sama, yaitu video game. Aku saat itu lagi banyak belajar ke Bang Roni untuk trik dan tips video game.

Kehilangan manusia berikutnya mungkin yang paling banyak dari segi jumlah adalah karena sapuan air laut alias tsunami pada 26 Desember 2004. Aku mendapat kabar peristiwa tersebut ketika sedang makan malam bersama keluarga di rumah sewa di Semaki Gede, Umbulharjo, Yogyakarta. Seketika, kelezatan masakan Emak terasa hambar malam itu.

Setelah tsunami sampai bertahun-tahun berikutnya, satu per satu aku mulai menerima kabar lewat telepon, email, dan media sosial bahwa Si Fulan kena tsunami, Si Ini kena tsunami, Si Itu kena tsunami (Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka, memberikan kedamaian dan kelapangan di alam kuburnya dan memasukkannya ke surga yang abadi). Ingatan-ingatan ketika berinteraksi dengan mereka pun berlintasan di kepala, orang per orang.

Kehilangan manusia terkini adalah Bapakku (Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, memberikan kedamaian dan kelapangan di alam kuburnya dan memasukkannya ke surga yang abadi, dan aku diberi kesempatan berjumpa lagi dengannya di surga nanti) pada tahun lalu. Orang yang telah mewariskan banyak kesederhanaan pemikiran kepadaku.

You Might Also Like

0 comments