Menilai Manusia

Thursday, May 19, 2016

Leeds City Centre, West Yorkshire, United Kingdom, 2016
Sejak akil baligh alias remaja di Aceh aku sudah diajarkan oleh Bapak (almarhum) orang tua untuk menilai manusia sebagai unik sejak awal, jangan mudah berprasangka.

Aceh, bisa jadi sebuah daerah yang kemungkinan besar akan dianggap monoton dan membosankan dalam banyak hal bagi orang-orang metropolitan. Pilihan untuk generasi mudanya berkegiatan itu-itu saja.

Ajaran sederhana yang sangat berharga untuk menjadi mahluk sosial di nusantara. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Mahsun, pada tahun 2012 mengatakan bahwa pada 2012 jumlah bahasa dan sub bahasa di seluruh Indonesia yang tercatat mencapai 546 bahasa. 
Berkat ajaran tersebut, aku tidak menilai manusia berdasar penampilannya, agama, gelar, pangkat, jabatan, asal daerah, keturunan, usia, dan berbagai atribusi lainnya. Ini ajaran yang sangat berguna buatku ketika merantau. 

Tidak ada yang mengejutkanku ketika menjalin perkawanan baru di daerah baru, ketika belajar dan bekerja di Yogyakarta, dan daerah-daerah lain. Sepertinya, Bapak sudah mengantisipasi bahwa aku akan menghadapi berbagai macam orang, dan tidak ingin aku mudah menilai orang.

Contoh, perempuan berhijab, tua, punya anak yang sudah remaja, lulus dari universitas di luar negeri, punya segudang prestasi, tidak berarti bisa menghargai jerih payah sekumpulan generasi muda yang menuntut hak-haknya. Mungkin sekali, toh setiap manusia itu unik. 

Akhir-akhir ini, dengan semakin banyaknya (sebenarnya dari dulu juga banyak) contoh bahwa agama, harta, dan tingkat pendidikan tidak ada sangkut pautnya dengan moralitas, semakin membuatku teringat pada ajaran Bapak tesebut. 

Bagiku, tinggal di Indonesia adalah tempat tinggal yang paling banyak menawarkan variasi keunikan manusia dari segi di dalam satu negara. 

Jika engkau masih begitu mudah menilai seorang manusia dengan menyamaratakannya berdasarkan latar belakang tertentu (stereotyping) maka kau akan kesulitan beradaptasi dengan berbagai hal-hal baru, mudah membandingkan orang per orang, dan duniamu pun menjadi membosankan. 

Jika kau tidak menghargai keunikan manusia, kuperkirakan kau akan menganggap bahwa imigran-imigran dari India, Pakistan, Bangladesh, dan sekitarnya di Inggris itu sama saja dengan Hijabers dari Indonesia dan turis dari Cina yang egois dan jorok. Betul? Yah, itulah stereotype. 

Kawan, adalah manusiawi jika hal-hal buruk dan jahat dari orang lain atau sekelompok orang lain lebih lekat di ingatan dan yang paling muncul pertama kali di permukaan pikiran kita. Hal tersebut adalah bagian dari insting dasar manusia untuk bertahan hidup, untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang akan dihadapinya. 

Namun menilai manusia entah, sebagai prasangka baik atau prasangka buruk, seketika berdasar informasi latar belakang yang tidak seberapa dan semata penampilan yang kelihatan, hanya menunjukkan kesempitan pikiran. 

Aku selalu berusaha untuk berpikiran terbuka, Ojo gumunan, tidak mudah kagum, dan Ojo kagetan, tidak mudah terkejut, kalau orang Jawa bilang. Sayang, aku manusia biasa, tidak selalu berhasil. 

Lebih sayangnya lagi, kesempitan pikiran tersebut tidak bisa digerus oleh pendidikan yang tinggi. Kuharap bisa, tapi. Beribu sayang.

You Might Also Like

0 comments