Saya ingin mengajak semua, terutama kawan-kawan pelaku dan peminat wisata petualang, mengkampanyekan wisata arung jeram, alias rafting, itu aman. Soalnya begini.
Tewasnya dua peserta arung jeram pada Sabtu (5/2/2011) berdampak pada sepinya tamu bagi operator penyedia jasa arung jeram. Dampak tersebut telah menjadi kecemasan Saya setelah menyimak beritanya.
Dua orang yang tewas itu adalah peserta, Jarot Nursasongko (32), warga Semarang, dan pemandu, Wawan Kristiyanto (34), warga Magelang. Keduanya, bersama 13 orang lainnya menggunakan dua perahu karet. Seorang penumpang, Benadi (30), warga Semarang, sempat luka dan pingsan. Dua korban meninggal ditemukan di Bogo, Banjarharjo, Kalibawang. Rombongan ini memulai pengarungan dari bawah jembatan Klangon, di Pranan, Banjaroyo, Kalibawang, Kulonprogo.
Dampak tersebut dirasakan langsung oleh Mas Nyoto, seorang operator arung jeram, warga Progowati, Mungkid. Sebagai kawan, Saya hubungi Dia pada Selasa malam (8/2/2011) untuk menanyakan kabarnya.
Malangnya kawan-kawan operator, Mas Nyoto membenarkan kecemasan Saya itu. Sejumlah tamu yang sudah memesan untuk lima perahunya kemudian membatalkan pesanan, menyusul meluasnya berita musibah itu. Kondisi serupa juga dialami beberapa operator lain. Menurut Mas Nyoto, pembatalan itu karena takut mengalami musibah serupa, dan tidak percaya pada standar keamanan operator.
Memang, lebih banyak orang tahu kejadian itu karena peran media. Termasuk para calon tamu, dan bakal calon tamu, yang kemudian membatalkan niatnya berarung jeram. Tidak ada salahnya, dan tidak perlu mencari-cari kesalahannya. Tapi, media perlu sadar dengan dampak beritanya.
Menurut Saya, lebih baik lagi jika media melengkapi beritanya dengan sebab-sebab yang terang, dan dampaknya berita tersebut terhadap para operator. Sehingga, publik dapat mengambil keputusan berdasar pertimbangan-pertimbangan yang lebih bijak. Calon tamu membatalkan pesanannya bukan karena semata takut mengalami nasib serupa.
Terlebih, pada Harian Jogja, Senin (7/2/2011) sudah diingatkan, kelas tingkat kesulitan Kali Progo yang menjadi lokasi musibah tersebut. Lokasinya diperuntukkan bagi kalangan profesional yang harus diiringi tim rescue (penyelamat).
Media bisa membantu mengembalikan kepercayaan publik terhadap operator. Lebih baik lagi jika bisa memberikan rekomendasi, atau tips untuk memilih operator yang pas sesuai kebutuhan calon tamu.
Nah, lebih efektif lagi jika kawan-kawan peminat wisata petualangan yang sudah pernah mengikuti arung jeram yang kampanye. Ini demi menghidupkan kembali dapur para operator, pemandu-pemandunya, dan unit usaha kecil lain yang terlibat di wisata arung jeram.
Sampaikan ke sanak saudara, handai taulan, betapa aman, dan menyenangkan berarung jeram. Orang lebih percaya pada mulut orang yang sudah dikenalnya, dan sudah mengalami langsung.
Saya sendiri baru beberapa kali mengikuti arung jeram. Itu pun di kali yang sama terus: Elo. Membosankan memang, tapi bagaimana lagi, dana yang ada cuma cukup untuk itu, hehehe.
Tewasnya dua peserta arung jeram pada Sabtu (5/2/2011) berdampak pada sepinya tamu bagi operator penyedia jasa arung jeram. Dampak tersebut telah menjadi kecemasan Saya setelah menyimak beritanya.
Dua orang yang tewas itu adalah peserta, Jarot Nursasongko (32), warga Semarang, dan pemandu, Wawan Kristiyanto (34), warga Magelang. Keduanya, bersama 13 orang lainnya menggunakan dua perahu karet. Seorang penumpang, Benadi (30), warga Semarang, sempat luka dan pingsan. Dua korban meninggal ditemukan di Bogo, Banjarharjo, Kalibawang. Rombongan ini memulai pengarungan dari bawah jembatan Klangon, di Pranan, Banjaroyo, Kalibawang, Kulonprogo.
Dampak tersebut dirasakan langsung oleh Mas Nyoto, seorang operator arung jeram, warga Progowati, Mungkid. Sebagai kawan, Saya hubungi Dia pada Selasa malam (8/2/2011) untuk menanyakan kabarnya.
Malangnya kawan-kawan operator, Mas Nyoto membenarkan kecemasan Saya itu. Sejumlah tamu yang sudah memesan untuk lima perahunya kemudian membatalkan pesanan, menyusul meluasnya berita musibah itu. Kondisi serupa juga dialami beberapa operator lain. Menurut Mas Nyoto, pembatalan itu karena takut mengalami musibah serupa, dan tidak percaya pada standar keamanan operator.
Memang, lebih banyak orang tahu kejadian itu karena peran media. Termasuk para calon tamu, dan bakal calon tamu, yang kemudian membatalkan niatnya berarung jeram. Tidak ada salahnya, dan tidak perlu mencari-cari kesalahannya. Tapi, media perlu sadar dengan dampak beritanya.
Menurut Saya, lebih baik lagi jika media melengkapi beritanya dengan sebab-sebab yang terang, dan dampaknya berita tersebut terhadap para operator. Sehingga, publik dapat mengambil keputusan berdasar pertimbangan-pertimbangan yang lebih bijak. Calon tamu membatalkan pesanannya bukan karena semata takut mengalami nasib serupa.
Terlebih, pada Harian Jogja, Senin (7/2/2011) sudah diingatkan, kelas tingkat kesulitan Kali Progo yang menjadi lokasi musibah tersebut. Lokasinya diperuntukkan bagi kalangan profesional yang harus diiringi tim rescue (penyelamat).
Media bisa membantu mengembalikan kepercayaan publik terhadap operator. Lebih baik lagi jika bisa memberikan rekomendasi, atau tips untuk memilih operator yang pas sesuai kebutuhan calon tamu.
Nah, lebih efektif lagi jika kawan-kawan peminat wisata petualangan yang sudah pernah mengikuti arung jeram yang kampanye. Ini demi menghidupkan kembali dapur para operator, pemandu-pemandunya, dan unit usaha kecil lain yang terlibat di wisata arung jeram.
Sampaikan ke sanak saudara, handai taulan, betapa aman, dan menyenangkan berarung jeram. Orang lebih percaya pada mulut orang yang sudah dikenalnya, dan sudah mengalami langsung.
Saya sendiri baru beberapa kali mengikuti arung jeram. Itu pun di kali yang sama terus: Elo. Membosankan memang, tapi bagaimana lagi, dana yang ada cuma cukup untuk itu, hehehe.
Ini tulisan tentang kesan saya terhadap bonek. Agak telat saya menulisnya, karena berbagai kesibukan dan lupa. Namun, karena kesannya kuat, saya masih ingat. Bonek juga bantu pengungsi Merapi.
Pengetahuan awal saya terhadap bonek, alias gerombolan pendukung kesebelasan sepak bola asal Jawa Timur, adalah mereka punya riwayat bertindak anarki di lokasi pertandingan, dan di sejumlah daerah yang mereka lalui menuju pertandingan tersebut.
Dampak yang paling segar dalam ingatan saya, bonek jadi musuh warga di sekitar stasiun kereta api di Solo, Jawa Tengah, dan Lempuyangan, Yogyakarta. Kalau soal penyebab permusuhan itu, saya tidak tahu pasti. Tapi, media berhasil membuat saya punya kesan bonek yang memulai.
Adalah tiga warga Surabaya yang dengan mantap memperkenalkan diri sebagai bonek, Rizal, Oyek dan Budi (ketiganya berusia antara 20 tahun sampai 30 tahun). Kami berkenalan di kantor lembaga swadaya masyarakat Combine Resource Institution (CRI), di Jalan Kyai Haji Ali Maksum Nomor 183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, pada Kamis, 4 November 2010.
Saya ke kantor CRI untuk mencari tumpangan roda empat. Selama masa tanggap darurat Gunung Merapi, ada armada dari CRI yang bergerak ke posko-posko relawan komunitas Jalin Merapi, hampir setiap hari. Entah armada milik CRI, atau dari pihak lain yang membantu. Saya ingin lihat dampak Gunung Merapi terhadap warga yang tinggal di dekatnya.
Lokasi yang jauh, dan medan perjalanan yang berat karena terkena hujan abu, dan pasir, vulkanik, tentu melelahkan jika saya tempuh dengan sepeda motor. Sebelumnya, saya pastikan, kehadiran saya tidak merepotkan, dan benar-benar ada ruang di dalam kendaraan.
Kendaraan bonek tersebut memenuhi syarat saya. Tim Combine menitipkan logistik bantuan. Tujuan kami adalah posko Jalin Merapi di Pedukuhan Sedan, Desa Ketinggeng, Kecamatan Dukun, Magelang, dengan kontak relawan bernama Rey. Sekitar pukul 13.00 WIB kami tinggalkan kantor CRI.
Saya dapat kesan tentang bonek ini di sepanjang perjalanan. Rizal sudah lebih dulu di Yogyakarta, sejak hampir seminggu yang lalu, dibanding dua kawannya, untuk menyalurkan bantuan. Hari sebelumnya, Rabu, mereka mengantar logistik ke satu lokasi pengungsian di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Mereka cerita, sebelum berangkat, mengamen di Surabaya selama dua hari, dan mendapat Rp 6 juta. Duit inilah modal mereka untuk membantu.
Dari CRI, kami tiga kali berhenti. Untuk beli buah selama setengah jam, belanja bantuan, lagi, di sebuah pasar swalayan selama satu jam, dan makan siang selama setengah jam. Mereka harus menghabiskan modalnya, uang sekitar Rp 4, juta di pasar swalayan itu, karena harus segera pulang.
Pengalaman ini merombak kesan saya terhadap bonek yang anarki, yang berhasil dibenamkan oleh berita di media. Seharusnya, saya tidak pukul rata.
Yang harus dipukul rata adalah semua manusia punya kebutuhan untuk membantu, selain juga butuh dibantu. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Sudahlah, yang penting tindakannya, bukan istilahnya.
Kami tiba di lokasi sekitar pukul 16.30 WIB. Bonek dan para relawan yang ada di posko tersebut bergerak cepat memindahkan logistik bantuan dari mobil ke gudang. Ada seorang relawan perempuan yang berperan mencatat lalu lintas logistik. Katanya, dia seorang mahasiswi pasca sarjana.
Tidak ada pengungsi di posko ini, kecuali sang empunya rumah. Posko lebih sebagai tempat koordinasi puluhan relawan Jalin Merapi.
Rey menjelaskan, sasaran bantuan posko tersebut lebih kepada pengungsi yang menempati rumah-rumah pribadi warga. Menurutnya, pengungsi jenis tersebut luput dari bantuan pemerintah. Padahal, jumlahnya juga banyak, dari segi rumah yang ditempati, dan pengungsi per rumah. Bahkan, ada sekitar 200 pengungsi yang menempati satu rumah pribadi.
Harus diakui, barak pengungsian yang ada, entah itu menempati sekolah, atau bangunan perkantoran milik pemerintah atau swasta, tidak cukup menampung semua pengungsi. Rumah pribadi pun ditempati, perannya sama penting.
Hari itu, kondisi sangat memprihatinkan. Sejak beberapa hari sebelumnya, kampung ini, dan hampir sebagian besar Kabupaten Magelang, dan sebagian Sleman, diguyur hujan abu, pasir, dan air, silih berganti. Air bersih untuk MCK di posko tersebut sangat minim.
Sepanjang jalan menuju lokasi, kondisi jalan sangat berbahaya sejak Kecamatan Turi, Sleman. Abu memadat di aspal, diguyur air hujan, membuat jalan jadi licin. Tidak tampak sepeda motor memacu lebih dari 50 km per jam. Bahkan, ada beberapa sepeda motor yang tampak dituntun. Pada perjalanan pulang, malam harinya, juga masih diguyur abu, berganti pasir, disusul air. Entah bagaimana kondisi pengungsi.
Semoga kondisi demikian lekas berakhir, dan membaik. Dan, bonek, atau kelompok pendukung kesebelasan lainnya, meniru aksi kemanusiaan Rizal, Budi, dan Oyek.
Pengetahuan awal saya terhadap bonek, alias gerombolan pendukung kesebelasan sepak bola asal Jawa Timur, adalah mereka punya riwayat bertindak anarki di lokasi pertandingan, dan di sejumlah daerah yang mereka lalui menuju pertandingan tersebut.
Dampak yang paling segar dalam ingatan saya, bonek jadi musuh warga di sekitar stasiun kereta api di Solo, Jawa Tengah, dan Lempuyangan, Yogyakarta. Kalau soal penyebab permusuhan itu, saya tidak tahu pasti. Tapi, media berhasil membuat saya punya kesan bonek yang memulai.
Adalah tiga warga Surabaya yang dengan mantap memperkenalkan diri sebagai bonek, Rizal, Oyek dan Budi (ketiganya berusia antara 20 tahun sampai 30 tahun). Kami berkenalan di kantor lembaga swadaya masyarakat Combine Resource Institution (CRI), di Jalan Kyai Haji Ali Maksum Nomor 183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, pada Kamis, 4 November 2010.
Saya ke kantor CRI untuk mencari tumpangan roda empat. Selama masa tanggap darurat Gunung Merapi, ada armada dari CRI yang bergerak ke posko-posko relawan komunitas Jalin Merapi, hampir setiap hari. Entah armada milik CRI, atau dari pihak lain yang membantu. Saya ingin lihat dampak Gunung Merapi terhadap warga yang tinggal di dekatnya.
Lokasi yang jauh, dan medan perjalanan yang berat karena terkena hujan abu, dan pasir, vulkanik, tentu melelahkan jika saya tempuh dengan sepeda motor. Sebelumnya, saya pastikan, kehadiran saya tidak merepotkan, dan benar-benar ada ruang di dalam kendaraan.
Kendaraan bonek tersebut memenuhi syarat saya. Tim Combine menitipkan logistik bantuan. Tujuan kami adalah posko Jalin Merapi di Pedukuhan Sedan, Desa Ketinggeng, Kecamatan Dukun, Magelang, dengan kontak relawan bernama Rey. Sekitar pukul 13.00 WIB kami tinggalkan kantor CRI.
Saya dapat kesan tentang bonek ini di sepanjang perjalanan. Rizal sudah lebih dulu di Yogyakarta, sejak hampir seminggu yang lalu, dibanding dua kawannya, untuk menyalurkan bantuan. Hari sebelumnya, Rabu, mereka mengantar logistik ke satu lokasi pengungsian di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Mereka cerita, sebelum berangkat, mengamen di Surabaya selama dua hari, dan mendapat Rp 6 juta. Duit inilah modal mereka untuk membantu.
Dari CRI, kami tiga kali berhenti. Untuk beli buah selama setengah jam, belanja bantuan, lagi, di sebuah pasar swalayan selama satu jam, dan makan siang selama setengah jam. Mereka harus menghabiskan modalnya, uang sekitar Rp 4, juta di pasar swalayan itu, karena harus segera pulang.
Pengalaman ini merombak kesan saya terhadap bonek yang anarki, yang berhasil dibenamkan oleh berita di media. Seharusnya, saya tidak pukul rata.
Yang harus dipukul rata adalah semua manusia punya kebutuhan untuk membantu, selain juga butuh dibantu. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Sudahlah, yang penting tindakannya, bukan istilahnya.
Kami tiba di lokasi sekitar pukul 16.30 WIB. Bonek dan para relawan yang ada di posko tersebut bergerak cepat memindahkan logistik bantuan dari mobil ke gudang. Ada seorang relawan perempuan yang berperan mencatat lalu lintas logistik. Katanya, dia seorang mahasiswi pasca sarjana.
Tidak ada pengungsi di posko ini, kecuali sang empunya rumah. Posko lebih sebagai tempat koordinasi puluhan relawan Jalin Merapi.
Rey menjelaskan, sasaran bantuan posko tersebut lebih kepada pengungsi yang menempati rumah-rumah pribadi warga. Menurutnya, pengungsi jenis tersebut luput dari bantuan pemerintah. Padahal, jumlahnya juga banyak, dari segi rumah yang ditempati, dan pengungsi per rumah. Bahkan, ada sekitar 200 pengungsi yang menempati satu rumah pribadi.
Harus diakui, barak pengungsian yang ada, entah itu menempati sekolah, atau bangunan perkantoran milik pemerintah atau swasta, tidak cukup menampung semua pengungsi. Rumah pribadi pun ditempati, perannya sama penting.
Hari itu, kondisi sangat memprihatinkan. Sejak beberapa hari sebelumnya, kampung ini, dan hampir sebagian besar Kabupaten Magelang, dan sebagian Sleman, diguyur hujan abu, pasir, dan air, silih berganti. Air bersih untuk MCK di posko tersebut sangat minim.
Sepanjang jalan menuju lokasi, kondisi jalan sangat berbahaya sejak Kecamatan Turi, Sleman. Abu memadat di aspal, diguyur air hujan, membuat jalan jadi licin. Tidak tampak sepeda motor memacu lebih dari 50 km per jam. Bahkan, ada beberapa sepeda motor yang tampak dituntun. Pada perjalanan pulang, malam harinya, juga masih diguyur abu, berganti pasir, disusul air. Entah bagaimana kondisi pengungsi.
Semoga kondisi demikian lekas berakhir, dan membaik. Dan, bonek, atau kelompok pendukung kesebelasan lainnya, meniru aksi kemanusiaan Rizal, Budi, dan Oyek.