Biji kopi Arabica Toraja
Aku punya kebiasaan untuk beli kopi di daerah kunjungan sejak tahun 2011. Termasuk pada kunjungan ke Makassar, Sulawesi Selatan, selama tanggal 14 sampai 17 September 2012.
Aku beli biji kopi Arabica Toraja, dari Toko Ujung di Jalan Somba Opu, saat itu. Lokasinya hanya sekitar lima menit jalan kaki dari Pantai Losari, Makassar. Kubeli dalam kemasan 250 gram sebanyak dua bungkus.
Selain kopi, toko itu menyediakan berbagai kebutuhan cinderamata khas Makassar. Ada sirup, dodol, Songko Bone, minyak gosok, aneka kacang dan kue khas, ukiran toraja, kaus, aneka kain, dan lain-lain. Aku cuma beli kopi.
[caption id="" align="alignnone" width="500"] Pengemasan kopi di Toko Ujung[/caption]
Aku punya kebiasaan untuk beli kopi di daerah kunjungan sejak tahun 2011. Termasuk pada kunjungan ke Makassar, Sulawesi Selatan, selama tanggal 14 sampai 17 September 2012.
Aku beli biji kopi Arabica Toraja, dari Toko Ujung di Jalan Somba Opu, saat itu. Lokasinya hanya sekitar lima menit jalan kaki dari Pantai Losari, Makassar. Kubeli dalam kemasan 250 gram sebanyak dua bungkus.
Selain kopi, toko itu menyediakan berbagai kebutuhan cinderamata khas Makassar. Ada sirup, dodol, Songko Bone, minyak gosok, aneka kacang dan kue khas, ukiran toraja, kaus, aneka kain, dan lain-lain. Aku cuma beli kopi.
[caption id="" align="alignnone" width="500"] Pengemasan kopi di Toko Ujung[/caption]
Novel Lampuki yang juara dan berjarak
Sastrawan lagi-lagi membuktikan kekuatannya menghadapi peristiwa yang sangat mengguncang rasa kemanusiaan. Kali ini terhadap masa-masa pembantaian manusia di Aceh, pada medio tahun 1990 - 2002.
Dialah Arafat Nur, dengan buku novelnya berjudul "Lampuki". Judul tersebut adalah nama kampung di Aceh Utara yang menjadi pusat cerita. Novel itu meraih penghargaan tertinggi Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010, dan Khatulistiwa Literary Award tahun 2011. Silakan googling untuk tahu betapa bergengsinya penghargaan tersebut.
Aku baca bukan karena silau dengan penghargaan itu. Tapi, karena ketertarikan pribadi saja, setelah mengetahui latar belakang, alias konteks waktu dan tempatnya. Aku tamat membacanya pada Desember 2010. Sungguh tidak buang waktu, membaca Lampuki yang masuk pasar buku pada Juni 2010 itu.
[caption id="" align="alignnone" width="500"] Arafat Nur, Lhokseumawe, 2010[/caption]
Sastrawan lagi-lagi membuktikan kekuatannya menghadapi peristiwa yang sangat mengguncang rasa kemanusiaan. Kali ini terhadap masa-masa pembantaian manusia di Aceh, pada medio tahun 1990 - 2002.
Dialah Arafat Nur, dengan buku novelnya berjudul "Lampuki". Judul tersebut adalah nama kampung di Aceh Utara yang menjadi pusat cerita. Novel itu meraih penghargaan tertinggi Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010, dan Khatulistiwa Literary Award tahun 2011. Silakan googling untuk tahu betapa bergengsinya penghargaan tersebut.
Aku baca bukan karena silau dengan penghargaan itu. Tapi, karena ketertarikan pribadi saja, setelah mengetahui latar belakang, alias konteks waktu dan tempatnya. Aku tamat membacanya pada Desember 2010. Sungguh tidak buang waktu, membaca Lampuki yang masuk pasar buku pada Juni 2010 itu.
[caption id="" align="alignnone" width="500"] Arafat Nur, Lhokseumawe, 2010[/caption]