Novel Lampuki yang juara dan berjarak

Saturday, September 08, 2012

Novel Lampuki yang juara dan berjarak

Sastrawan lagi-lagi membuktikan kekuatannya menghadapi peristiwa yang sangat mengguncang rasa kemanusiaan. Kali ini terhadap masa-masa pembantaian manusia di Aceh, pada medio tahun 1990 - 2002.

Dialah Arafat Nur, dengan buku novelnya berjudul "Lampuki". Judul tersebut adalah nama kampung di Aceh Utara yang menjadi pusat cerita. Novel itu meraih penghargaan tertinggi Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010, dan Khatulistiwa Literary Award tahun 2011. Silakan googling untuk tahu betapa bergengsinya penghargaan tersebut.

Aku baca bukan karena silau dengan penghargaan itu. Tapi, karena ketertarikan pribadi saja, setelah mengetahui latar belakang, alias konteks waktu dan tempatnya. Aku tamat membacanya pada Desember 2010. Sungguh tidak buang waktu, membaca Lampuki yang masuk pasar buku pada Juni 2010 itu.

[caption id="" align="alignnone" width="500"] Arafat Nur, Lhokseumawe, 2010[/caption]

Aku terpuaskan oleh gaya bahasanya yang mengalir. Seolah penuturnya adalah kawan akrab yang duduk di depanku langsung. Tentu, tetap dengan kaidah penulisan yang baku. Juri-juri dua apresiasi sastra bergengsi itu tak ada ampun soal kaidah tersebut.

Diksinya (pilihan kata) mengingatkan kembali dengan bahasa sehari-hari -- meski sekarang sudah jarang terdengar -- dulu. Mungkin bahasanya bisa agak mengerutkan dahi bagi orang Jawa, atau luar Sumatera lainnya, pada masa kini. Namun, toh juri-juri itu mengerti.

Kenyataan yang terjadi, meski mengenaskan, disampaikan secara banal. Karakter setiap tokohnya tidak hitam putih, alias tidak ekstrim jahat, tidak ekstrim baik, sungguh manusiawi.

Pelajaran moralnya tidak disampaikan secara gamblang, tidak mendikte. Menuntut pembaca untuk menarik sendiri pelajarannya. Seperti sebuah laporan jurnalistik yang apa adanya, netral, dan independen.

Jika dalam stand up comedy popular, disebutkan comic (seniman stand up) yang baik harus mampu menjadikan dirinya bagian dari bahan lelucon. Novel Lampuki telah melakukannya melalui otokritik, dan kekonyolan beberapa tokohnya.

Lantas di mana letak kekuatan sastrawan yang kumaksud?

Aku bicara soal kekuatan sastrawan untuk menulis secara berjarak. Berjarak terhadap peristiwa yang menimpa dirinya sendiri, manusia-manusia yang dikenalnya secara intim, dan lingkungan tempat tinggalnya. Sungguh butuh kepala yang dingin. Menafikan emosi, tanpa kemudian menjadi robot.

Toh, Arafat menyisakan sosok kemanusiaannya pada tokoh penutur. Seorang guru mengaji di meunasah, yang bekerja serabutan sebagai kuli bangunan, bernama Teungku Muhammad. Keluhan-keluhan muncul dari penutur tersebut.

Bagaimana Arafat bisa melakukan itu. Jika menilik latar belakang kepenulisannya, Arafat bukan sastrawan panas panas tai ayam. Dia tekun menulis sejak remaja. Aktif di berbagai forum sastra, selain juga wartawan.

[caption id="" align="alignnone" width="141"] lampukinovel.blogspot.com[/caption]

Aku jumpa Arafat pada akhir 2010 di Lhokseumawe. Berbincang-bincang selama dua jam di rumahnya yang sederhana. Tak hanya soal Lampuki. Tentang obsesi-obsesinya. Tentang karya-karya sastra dunia yang mempengaruhinya.

Apakah sungguh-sungguh ada lokasi kampung bernama Lampuki? Apakah Lampuki berasal dari bahasa Aceh, yang ada artinya dalam bahasa Indonesia? Aku tak tahu. Yang kutahu, dan kurasakan, ada banyak permainan simbol yang umum.

Eh, aku mulai meraba-raba arti Lampuki. Ah, iya, mungkin sekali para juri itu juga mafhum arti kata Lampuki. Sungguh jenius imajinasi sastra Arafat, ketika memberi judul Lampuki. :))

Simbol yang menyindir? Ah, itu tergantung perasaan Anda saja. Aku pernah mendengar seorang comic bilang, betapa rendahnya selera humor orang Indonesia. Terlalu serius, gampang tersinggung, reaksioner. Mari nikmati sebagai bahan untuk menertawakan diri.

Tulisan ini memang bukan resensi. Sudah terlalu banyak yang meresensi Lampuki. Jadi, tak ada secuil cerita yang aku cuplik kali ini. Hanya sebuah refleksi, dan apresiasi atas kekuatannya.

You Might Also Like

3 comments

  1. Karno nggak usah bikin malu timturing deh. Buku murah kok pinjem itu lho

    ReplyDelete
  2. Ralat.
    Saya ganti, yang tadinya tahun 2011, menjadi 2010. Lupa, hehe.

    ReplyDelete