Menyeberangi hilir Sungai Opak

Sunday, September 05, 2010

Menyeberangi hilir Sungai Opak

Minggu, 5 September 2010

Saya tertarik memberitakan keluhan warga Pedukuhan Baros, Desa Tirtohargo, Kretek, Bantul: terjadi penambangan pasir pantai  di bagian dalam hilir Sungai Opak sisi Selatan.



Pukul 13.00, saya bertemu dengan warga setempat, di batas vegetasi tanaman bakau. Jaraknya dari tepi Utara hilir hanya tiga menit jalan kaki. Narasumber Saya adalah tokoh pemuda Baros, Dwi Ratmanto, dan Iswantoro.



Tanaman yang punya fungsi sebagai pemecah ombak, dan angin, di pantai tersebut, tampak sudah besar. Tingginya mencapai tiga meter. Tanaman ini berusia sekitar delapan tahun, dan sudah dapat dijadikan induk penghasil bibit.

Pahami dulu, bagian hilir Sungai Opak melintang dari Timur ke Barat, setelah sungai tersebut bertemu dengan Pantai Depok, di Desa Parangtritis, Kretek. Sehingga, batas Selatan Desa Tirtohargo tidak langsung bertemu laut, melainkan hilir Opak lebih dulu, lalu pantai. Nah, lebar pantai dengan hilir tersebut bervariasi, berkisar antara 200 meter sampai 400 meter.

Dampak penambangan pasir ini sangat berbahaya. Pasir tersebut berfungsi sebagai penahan ombak. Jika terus dikeruk, bukan tidak mungkin muara justru hilang, dan Tirtohargo langsung berbatasan dengan laut. Padahal, ada beberapa jenis tanaman pertanian warga, dan tambak-tambak kepiting, atau ikan air payau lainnya yang baru dirintis, yang berada di antara bakau dengan muara.

Setelah dapat data, dan dengar keluhan dari mereka, Saya merasa perlu mengimbangi dengan suara dari penambang yang berada di sisi Selatan. Dari sisi Tirtohargo lebar hilir tersebut, yang harus diseberangi, sekitar 200 meter.

Ada dua cara untuk mencapainya, memutar dan menyeberang. Memutar berarti, melalui Depok, yang itu berarti harus kembali lagi ke Jalan Parangtritis, yang jaraknya 5 km dari tempat kami, parkir sepeda motor di obyek wisata Pantai Depok, lalu masih harus jalan kaki sekitar 2 km menuju lokasinya.

Kami pilih cara menyeberang. Alatnya adalah rakit. Ini kali pertama Saya naik rakit.

[caption id="" align="alignnone" width="333" caption="di atas rakit yang terus bergoyang"][/caption]

Tas berisi perlengkapan tulis Saya titipkan ke sorang warga setempat yang memantau kegiatan kami di tepi sungai. Saya hanya membawa peralatan kamera saku pinjaman dari kawan Fikri--terimakasih banyak untuk pinjaman alat ini.

Rakit ini berbentuk segi tiga, dengan panjang masing-masing sisi sekitar 2 meter. Alat untuk menggerakkannya adalah sebilah bambu sepanjang 5 meter.

Ternyata, agak ribet naik rakit ini. Posisi kami harus simetris supaya seimbang. Dwi duduk di depan bersimpuh, Saya jongkok di tengah, Iswantoro di belakang berdiri sebagai pengayuh. Bahaya jika penumpang berdiri karena dapat menambah kencang goyangan rakit. Saya pilih jongkok, demi menghindari air membasahi pantat.

Tidak tega melihat perjuangan Iswantoro mengayuh. Bayangkan, beban penumpang, ditambah lagi dengan kuatnya arus ke arah hilir, dan terpaan angin. Kami harus menempuh perjalanan di atas air sepanjang 200 meter selama 15 menit. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan penumpang selain duduk diam dengan tenang, dan berdoa.

Kemungkinan jatuh sangat besar. Kami sama sekali tidak mengenakan pelampung, dan jauh dari pantauan tim SAR.  Ini adalah perjalanan 15 menit yang agak menegangkan, meski tidak memacu adrenalin.

Sampai di seberang, Saya hanya sempat mengorek sedikit info dari sang penambang. Sepertinya, Dia sadar aktivitasnya ilegal, dan menjawab setengah hati, lalu bergegas minggat.

Perjalanan kembali, sekali lagi, membuat Saya menahan nafas, dan terus berdoa. Pelajarannya, jangan pernah naik rakit di atas arus sekuat itu lagi tanpa pelampung. Tidak perlu celaka dulu baru kemudian menyadari resiko ini.

You Might Also Like

3 comments

  1. lain kali lebih hati-hati mas, beruntung aja sekali itu selamat

    ReplyDelete
  2. iya, beruntung, haha. harus selalu hati-hati memang

    ReplyDelete
  3. fotone kurang lebar..
    kok mung narsis alay yang terakhir #doh

    ReplyDelete