Bukan resensi untuk Ulid

Monday, March 21, 2011

Ulid Tak Ingin ke Malaysia tuntas saya baca pada 13 Maret 2011. Tulisan ini tentang kesan pribadi terhadap novel karya redaktur bahasa pertama saya, Mahfud Ikhwan.

Mahfud adalah senior saya di komunitas BPPM Balairung UGM, yang saya ikuti sejak 2001. Kecenderungan gaya bahasa tulis saya, sedikit banyak, dipengaruhi oleh Mahfud, dan senior lainnya.





Buku itu terbit tahun 2009, dengan tebal 400 halaman. Dalam tahun itu juga saya beli dari penulisnya. Saya mulai baca sejak Indonesia kalah dari Malaysia pada final Piala AFF tahun 2010, pada 29 Desember 2010.

Lama memang, tidak lain karena malas. Alibi saya, butuh motivasi kuat untuk baca novel. Dan, kemenangan Malaysia itu alibi yang pas. Eh, awalnya, mata saya mendadak tertumbuk pada buku itu, di antara deretan buku yang tertata dalam kategori "Belum Dibaca", di dalam kamar.

Saya akan mulai cerita dengan bagian yang saya suka, saya nilai menarik, kemudian yang saya sayangkan.

Yang saya suka, buku itu menawarkan keintiman terhadap alam pikiran, atau psikologi, dan detil perilaku Ulid, si tokoh pusat. Lalu, ada pula dua kemiripan pribadi antara Ulid dengan Saya :).

Kemiripan pertama, kami selalu baca rubrik Nukilan Tarikh dalam majalah bulanan Suara Muhammadiyah (SM). Majalah produk Pengurus Pusat Muhammadiyah ini langganan Bapak saya, selama masih tinggal di Lhokseumawe (1982-2000). Saya mulai baca SM sejak SD. Entahlah, kelanjutan nasib ratusan majalah-majalah itu, sejak rumah keluarga kami terjual tahun 2003.

Nukilan Tarikh berisi kisah sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Harus Saya katakan, tidak ada satu cerita pun yang masih bisa ingat. Tapi, setidaknya, nilai-nilai moral yang saya anut terpengaruh oleh cerita-cerita mulia itu.

Senang rasanya, mengetahui ternyata saya tidak sendiri. Ada Ulid yang juga punya kesukaan serupa(Hlm.153). Pun, sampai sekarang, jika Saya bisa pegang lagi majalah SM, Nukilan Tarikh adalah rubrik pertama yang akan saya incar.

Mengenai detil, sebetulnya itu melelahkan. Saking detilnya, saya hampir menyerah. Hampir say putuskan untuk meletakkan buku itu di rak bagian "Belum Selesai Dibaca". Rak yang sesungguhnya lebih pantas diberi judul "Tidak Pernah Selesai Dibaca".

Sampai akhirnya halaman 111, Saya temukan humor yang agak segar dalam satu dialog antara warga yang tengah menimbang-nimbang untuk berangkat ke Malaysia. Sehingga, saya kembali semangat. Begini dialognya.

"Sudah pernah naik perahu belum?"

"Belum."

"Wah..."

"Bisa berenang tidak?"

"Tidak"

"Aduh."

"Masih sehat nggak?"

"Ya, kemarin kena encok sedikit."

"Halah."

Saya menganggap ada dua bagian yang menarik. Pertama, tentang teknik orang membakar batu gamping, dan tentang dubbing, atau riwayat teknik dubbing (penyuaraan) masa-masa awal munculnya sandiwara radio, dan serial cerita asing di televisi.

Teknik pembuatan gamping diceritakan detil, dalam beberapa halaman (Misalnya, Hlm.26). Mungkin novel itu bisa jadi bahan, jika ada penelitian. Mengingat, ini teknik tradisional, yang perlahan-lahan produknya mulai ditinggalkan.

Riwayat dubbing ini juga keren. Disebutkan fakta beberapa dubber dalam serial kartun Doraemon, yang sebelumnya memerankan tokoh-tokoh dalam sandiwara radio Saur Sepuh (Hlm.226).

Nah, bukan Mahfud jika tidak menawarkan kosa kata yang jarang dipakai dalam bahasa sehari-hari. Ada kata-kata yang menuntut Saya untuk buka kamus, atau tanya langsung ke Mahfud untuk tahu artinya. Yakni "manjing"(Hlm.), "rungsing"(Hlm.379), "goang"(Hlm.262,) dan "marning"(Hlm.381).

Nah, bagian yang saya sayangkan, adalah kalimat yang mengulang. Mungkin, untuk menjelaskan ulang. Tapi, menurut saya, orang bisa kembali membuka halaman sebelumnya, jika perlu penjelasan ulang. Misalnya, kalimat "biasanya memutar film-film bagus", muncul dua kali, pada halaman 218 dan 222.

Demikian, sekian, terima kasih.

You Might Also Like

0 comments