Menanggapi Wacana Pembubaran Pengadilan Tipikor

Tuesday, November 22, 2011

Berikut adalah rilis media dari Jejaring Anti Korupsi Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menanggapi wacana pembubaran pengadilan Tipikor daerah. Disampaikan di kantor Pukat (Pusat Kajian Anti Korupsi) UGM, 22 November 2011.

Pengadilan Tipikor Bukan Titipan Koruptor


Pengadilan Tipikor yang diharapkan menjadi pemberantas koruptor, belakangan ini terasa mulai keluar dari harapan. Sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah ramai-ramai membebaskan tersangka korupsi. Maka tidak heran, banyak kalangan menuntut pembubaran Pengadilan Tipikor.
Namun, sebenarnya putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor tidak hanya disebabkan oleh Pengadilan Tipikor sendiri, melainkan ada hal lain yang membuat Pengadilan Tipikor serasa tak ganas lagi dan terkesan hanya menjadi pengadilan titipan koruptor. Setidaknya, ada tiga hal penting yang menjadi penyebabnya.

Pertama, rekrutmen calon hakim tipikor. Proses seleksi yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung untuk menjaring calon hakim tipikor tidak melibatkan masyarakat sipil dan media. Hasilnya, Mahkamah Agung “kecolongan”. Calon hakim tipikor yang tersangka korupsi dapat duduk sebagai pengadil koruptor. Untuk memperoleh hakim tipikor yang handal, selain Mahkamah Agung melibatkan peran serta masyarakat sipil dan media, pemerintah dan DPR juga harus menambah anggaran bagi Mahkamah Agung untuk menyelenggarakan seleksi calon hakim tipikor. Anggaran tersebut dipakai untuk melacak rekam-jejak calon hakim tipikor sampai pada tahap yang detil.

Kedua, regulasi Pengadilan Tipikor yang keliru. Menempatkan Pengadilan Tipikor di seluruh kabupaten kota berpotensi mengubah fungsi Pengadilan Tipikor dari lembaga pengadil menjadi tempat bertransaksi antara oknum petugas pengadilan dengan tersangka korupsi atau mafia. Potensi perubahan fungsi ini karena pengawasan terhadap Pengadilan Tipikor di daerah—apalagi daerah yang jauh sekali dari pusat—sangat rendah. Di samping itu, kepentingan politik lokal juga sangat mempengaruhi integritas hakim tipikor.

Oleh karena itu, regulasi sekarang yang mengatakan harus membentuk Pengadilan Tipikor di kabuapten/kota harus dievaluasi ulang. Stop pembentukan Pengadilan Tipikor di kabupaten/kota dan maksimalkan yang sudah terbentuk dengan terus melakukan evaluasi yang mendalam.

Ketiga, komitmen penegak hukum yang masih rendah. Kejaksaan dan Kepolisian di daerah masih berpikir dan berparadigma bahwa posisi Pengadilan Tipikor setara dengan pengadilan umum. Pengadilan Tipikor adalah pengadilan “luar biasa” yang khusus menangani tindak pidana korupsi. Sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), maka penanganannya juga harus luar biasa. Prioritas pemeriksaannya, misalnya, harus didahulukan dan cepat, tanpa mengurangi substansi hukum acara. Sehingga, proses hukum (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian di daerah harus serius.

Oleh karena itu, Jejaring Antikorupsi Jawa Tengah dan DIY, Pukat Korupsi FH UGM, serta Kemitraan menghimbau agar pengambil kebijakan, seperti Mahkamah Agung, Pemerintah, dan DPR, serta penegak hukum (KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian) untuk memperhatikan,

1.Rekrutmen calon hakim tipikor kedepan harus dilakukan dengan benar dan menggandeng masyarakat sipil serta media untuk dilibatkan dalam rekrutmen dan pengawasan setiap bakal dan calon hakim tipikor. Mahkamah Agung juga harus bertanggung jawab mengembangkan kapasitas hakim tipikor;
2.Pemerintah dan DPR harus mengevaluasi regulasi Pengadilan Tipikor. Stop pembentukan Pengadilan Tipikor di Kabupaten/Kota dan memaksimalkan Pengadilan Tipikor yang ada di tingkat provinsi sembari melakukan evaluasi yang komprehensif dan holistik; dan
3.Penegak hukum (KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian) harus memiliki integritas dan profesionalitas serta komitmen tinggi untuk serius melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi.

Salam Perlawanan terhadap Korupsi
Yogyakarta, 22 November 2011

Jejaring Antikorupsi Jateng
KP2KKN
JEJAK
LBH SEMARANG
PATTIRO SEMARANG
BEM FH UNDIP
CICAK MAGELANG
GERTAK BATANG
YAPHI SOLO
ATMA SOLO
PUSOKO KLATEN

Jejaring Antikorupsi DIY
ICM
LBH YOGYAKARTA
IDEA
DEMA FH UGM
PKBH FH UGM
Walhi Yogyakarta
LKY
AJI Yogyakarta
RIFKA ANNISA
MTB

You Might Also Like

9 comments

  1. Kalo saya lihat sih emang begitu, yang jadi hakim "konconya" koruptor. Terang aja dibebasin, lha wong kancane dewek... :))

    ReplyDelete
  2. HEhehe, mungkin kita hanya bisa tertawa, atau geleng kepala, atau diem aja kalau liat kondisi sekarang ini mas :)

    ReplyDelete
  3. Nah, itu termasuk problem internal yang disikapi jejaring. Di daerah mana itu terjadi Mas?

    ReplyDelete
  4. Yah, kita bisa menyikapinya dengan blogging seperti ini. atau selemah-lemahnya, ya berdoa :)

    ReplyDelete
  5. berkunjung sob..salam blogger
    sukses selalu yah..:)

    ReplyDelete
  6. Terima kasih paman.
    Salam blogger.

    ReplyDelete
  7. memang masih butuh waktu untuk bisa bagus, dan cilakanya, entah sampai kapan :D

    ReplyDelete
  8. Sederhana, sampai ada komitmen politik dari penguasa.

    ReplyDelete
  9. hahahaha.. saya justru baru tahu kalau itu adalh kepanjangan dari kata tersebut.. tapi sepertiyna.. guyonan atau bukan.. emang pas ko di sandang sama mereka kata tersebut.. halah*

    ReplyDelete