Keramahan warga Takengon: Kesejukan di bulan Ramadan

Tuesday, September 04, 2012

Keramahan warga Takengon

Bagian pertama: Kesejukan di bulan Ramadan

Aku ingat belum menulis cerita dari perjalanan ke Takengon, Aceh Tengah, pada tahun 2011, setelah jumpa Din Afriansyah, seorang kawan Blogger Sumut. Din menjemputku di stasiun Kereta Api Medan, Sabtu subuh, 25 Agustus 2012, lalu membawaku ke rumahnya yang terletak sekitar 1 kilometer dari Masjid Raya Medan. Rencananya, kami akan mengunjungi pernikahan seorang kawan Blogger Sumut, Horas K Sirait, di Pematang Siantar, pada siang harinya.

Pada perbincangan awal dengan Din, dia menyebut keluarganya pernah tinggal di Aceh Tengah. Duh, aku segera ingat belum menulis cerita dari kunjungan ke daerah yang didominasi suku Gayo itu.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Armada mobil rute Bireun - Takengon"][/caption]

Kunjunganku tahun 2011 ke Takengon itu adalah yang ke dua kali. Pertama kali pada saat aku masih duduk di kelas (lupa) Sekolah Dasar, bersama keluarga lengkap, dengan angkutan umum, sekitar tahun 1994 (lupa persisnya). Dari kunjungan pertama, aku hanya ingat daerah itu sangat sejuk, jeruknya enak, ada danau besar bernama Lut Tawar, dan jalan untuk mencapainya menanjak berliku mengerikan.

Aku berangkat menuju Takengon pada Rabu, 24 Agustus 2011 (alias 24 Ramadan 1432 H menurut Persyarikatan Muhammadiyah), dari Bireun, dengan armada angkutan umum mobil Mitsubishi Colt L300. Mobil baru bergerak sekitar pukul 16.00 WIB, setelah aku tunggu selama 30 menit.

Perjalanan lancar selama 3,5 jam. Melewati dataran di Bireun selama 1/2 jam awal, menanjak dan berkelok-kelok selama 2,5 jam kemudian, diakhiri dengan menurun lalu landai begitu memasuki kota Takengon pada 1/2 jam terakhir. Aku sengaja pilih duduk di bangku paling depan, agar leluasa menikmati pemandangan, dan bisa berbincang dengan supirnya.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Pemandangan Kota Takengon, 2011"][/caption]

Perut yang kosong karena puasa, justru efektif menahan kantuk. Tapi, kalau pun mengantuk, pasti kutahan. Tak mungkin tidur di mobil itu, dalam perjalanan yang menanjak-berliku. Apalagi dengan supir yang membayangkan dirinya seorang Michael Schumacher, haha.

Serangan kantuk terberat datang menjelang Maghrib di daerah Kabupaten Bener Meriah, kabupaten sebelum Aceh Tengah. Selain karena sudah minim cahaya matahari, sejuknya alam pegunungan, sekitar 1200 meter di atas permukaan laut, mudah melenakan orang yang berasal dari pinggir pantai yang panas sepertiku.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Sajian istimewa di rumah keluarga Miko"][/caption]

Mendarat di kota Takengon sekitar 15 menit sebelum Isya'. Aku minta diturunkan di depan Masjid Raya Takengon. Setelah Tarawih, aku mulai menghubungi kawan di Takengon. Sempat juga bilang pengurus Masjid, aku mungkin akan menumpang menginap, jika kawanku tak bisa ditumpangi. Pengurus itu mempersilakan.

Aku tak kenal siapa pun di Takengon. Sebelum berangkat, aku minta dicarikan kawan di Takengon untuk menginap pada Bang Jalal, kawanku di Medan. Bang Jalal lalu memberi nomor ponsel Bang Ilham Syah, kawannya yang aktivis. Dari masjid itu kutelepon Bang Ilham. Sayang, dia sedang ke luar kota. Bang Ilham lalu menelepon saudaranya, Aramiko Kijatmiko. Akhirnya, Miko datang, lalu membawaku ke rumah keluarganya yang hanya berjarak 1 kilometer dari masjid.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Pose bangun pagi, belum mandi, berlatar belakang danau Lut Tawar. Difoto oleh Miko"][/caption]

Jadilah aku menginap di rumah Miko, sampai Sabtu, 27 Agustus 2011. Selama aku di Takengon, Bang Ilham belum bisa datang. Nah, jadi sampai sekarang, aku belum pernah jumpa dengan Bang Ilham itu, haha.

Dinginnya udara di Takengon bagi pendatang sepertiku, rupanya dimengerti Miko, sehingga menyediakan selimut cukup tebal untukku tidur. Namun, aku jarang memakai selimut itu. Miko selalu ke luar dengan memakai jaket, namun aku tidak, sengaja. Bagiku, justru udara dingin Takengon itu yang kucari.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Api unggun siang hari di Takenong"][/caption]

Aku agak heran, kenapa warga Takengon pun tak menikmati dinginnya. Berkali-kali kulihat, di pinggir jalan, sejumlah anak muda yang berkumpul sembari mengelilingi api unggun kecil (biasanya membakar kayu bekas).

Gangguan kecil di bulan Ramadan itu hanyalah suara petasan yang saling adu keras, dari berbagai arah. Ah, kuanggap positif itu sebagai tanda kondisi di Aceh sudah aman dari kerusuhan bersenjata. Tapi masalah terbesar adalah, handukku payah keringnya, hihi.

Soal keramahan, sepertinya masyarakat yang tinggal jauh dari keriuhan peradaban, cenderung lebih ramah terhadap tamu. Menikmati sajian makanan yang serba enak di rumah itu, dengan alam yang demikian sejuk, bagaimana aku tidak rindu ingin ke sana lagi.

Oh, kupikir sudah terlalu panjang untuk satu artikel, kusambung lagi nanti.

You Might Also Like

4 comments

  1. menyenangkan, merasakan keramahan,

    ReplyDelete
  2. Jadi kaneg pulang kampung kalo ngeliat foto Takengon dari atas. Udaranya yang dingin bikin betah di Takengon

    ReplyDelete
  3. Ayo kapan ke Takengon lagi.
    Aku pun entah kapan lagi, hehe

    ReplyDelete