Petir di Siang Bolong

Sunday, February 22, 2015

Pelipur di perjalanan.
“Ada acara keluarga rupanya Bang? Sampe dari Tangerang, sama dari Bandung janjian malam2 di Kualanamu, terus ke Sigambal nih?”

“Kau tahu istilah seperti petir di siang bolong?”

“Ha? Maksudnya Bang?”

“Kayak gitulah yang sedang kami rasakan sekarang.”

“Ha?”

“Ayahanda kami baru wafat tadi siang”

“Ooo ...”
Menuju Rantau Prapat
Menuju Rantau Prapat
Awalnya Ilham, supir mobil sewa yang jadi taxi gelap asal Sigambal, yang memecah kesunyian di tengah gulita dini hari itu dengan membuka obrolan. Di dalam mobil sewa itu, aku duduk di depan, sementara abangku beserta keluarganya mengisi penuh kursi tengah.

Kami sedang melalui jalan lintas Sumatera, persisnya di Kisaran, Asahan. Masih sekitar tiga jam lagi sebelum kami tiba di rumah duka, di Rantau Selatan, Labuhan Batu. Sangat jarang aku bisa bertahan melek di dalam mobil jika perjalanan lebih dua satu jam, apalagi malam. Entah kekuatan darimana, aku tetap melek.

Yang pasti bagiku, supir mobil sewa pun suka kudengarkan juga ceritanya. Lagipula kondisi yang sepi memperburuk kantuknya. Penangkalnya selain merokok, ya cerita-ceritalah. Tak mungkin pula dia putar musik sementara ada anak-anak abangku tengah tidur lelap.

***

Kabar wafatnya aku terima di hari Kamis pertama di bulan Februari 2015, kurang setengah jam setelah aku menerima kabar almarhum dalam kondisi kritis. Kedua kabar disampaikan oleh adikku yang kerja di Jakarta lewat telepon.

Pesawatku terbang pukul 19.00 WIB dari Cengkareng, dari semestinya pukul 17.00 WIB. Terima kasih istri yang sangat membantuku mendapat tiket pesawat.

***

Bersyukur, kami tiba dengan selamat di rumah, satu jam sebelum azan subuh. Emak masih terduduk di sisi kepala jenazah dengan wajah kuyu dan mata merah, campuran karena menahan dan terlalu banyak menangis.

Aku tahu, jika aku menghampirinya dengan air mata, hanya akan memperburuk. Cukuplah kupeluk beliau untuk menguatkan.

Semua proses, memandikan, mensalatkan, perjalanan menuju pemakaman, hingga penguburan berjalan lancar. Alhamdulillah. Semoga khusnul khotimah, amal ibadahnya diterima, tenang di alam barzah hingga dibangkitkan pada akhirat nanti, masuk surga, dan aku bisa menjumpainya lagi, amiiin.

***

Beberapa hari setelah pemakaman, aku silaturahmi ke rumah adik perempuan almarhum. Mendengar ceritanya, bagaimana dia merespon kabar wafatnya almarhum. “Seperti petir di siang bolong ajalah”, katanya.

Aku silaturahmi ke beberapa orang yang mengenal almarhum. Menyimak apa saja pengalaman mereka bersama almarhum, dan reaksinya ketika mendapat kabar duka itu.

***

Beberapa hari setelah pemakaman, kali ini aku yang jadi pembawa kabar.

Pernah kalian dengar istilah, jika ingin mengetahui cerita di suatu wilayah, pergilah ke barber shop dan dengarkan cerita-cerita di sana?

Aku sengaja potong rambut di tempat potong rambut yang sama dengan almarhum. Namun, dipotong oleh pemotong rambut yang berbeda dengan almarhum karena orang yang kucari belum datang. Belakangan setelah aku selesai dipotong, baru dia datang untuk potong rambut seseorang yang lebih kurang sama dengan almarhum usianya.

Setelah pelanggannya pergi, barulah pelan-pelan kusampaikan kabar duka itu. Yang terutama kusampaikan setelah memastikan dia mengenal almarhum, adalah menanyakan apakah almarhum punya hutang, dan minta dimaafkan jika ada salah kata dan sikap almarhum. 

Lelaki itu, yang lupa kutanya namanya, adalah kesukaan almarhum. Dia telah memotong rambut almarhum sejak belasan tahun silam. Emak cerita, almarhum menunggu jika dia sedang melayani orang lain, meski ada pemotong lain yang lowong. Bayangkan, almarhum dan pemotong rambut itu pernah bertukar berapa banyak cerita. Meski setahuku, almarhum orang yang lebih suka mendengarkan saja.

***

Aku masih terus ingin menyimak cerita tentang almarhum dari orang lain, dari siapa saja orang-orang terdekatnya. Untuk mengambil hikmahnya, dan meneladani kerja kerasnya. Karena tidak ada manusia yang sempurna, kuserap yang baik-baik saja.

Entah apa yang ada di kepalaku, ketika menjawab pertanyaan Ilham, dengan istilah petir di siang bolong itu. Sepertinya orang-orang yang mengetahui kabar itu juga memakai istilah yang sama.

Kata Emak ketika aku baru tiba, “Baik kalilah bapakmu” kalimat itu terus yang diulang-ulangnya. Wallahu A’lam bishawab.

You Might Also Like

0 comments