Daerah Racun

Monday, March 16, 2015

Daerah Racun Tukang Pos
Alat permainan tembak-tembakan anak-anak di Labuhan Batu. Pelurunya berupa gumpalan kertas yang dipadatkan. Aku pun dulu sempat memainkannya, lupa entah apa nama persisnya. Lebih besar klik di album.
"Kita berhenti minum dulu yok, ada warkop tadi sebelah kiri jalan", kataku yang menyetir sepeda motor.

"Ah, jangan di sini pula lah Bang. Kalo mau beli yang botolan aja," kata adik sepupuku di belakang.

"Ha, kan enak kalau sambil duduk-duduk di warkopnya," kataku membujuk.

"Jaaangan Bang, daerah racun ini", suaranya terdengar sayup-sayup bersama suara angin, karena aku sambil terus mengendarai sepeda motor.

"Ha, racun?" kataku, tak yakin dengan apa yang dikatakannya.

Demikian di sore hari Senin ke - 4 di Februari 2015, waktu kami jalan-jalan ke Desa Negeri Lama, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhan Batu. Untuk pertama kalinya aku mendengar cerita soal daerah racun itu, sejak aku bolak-balik pulang kampung ke Labuhan Batu, sejak aku belia.

Aku tidak yakin juga dengan kata sepupuku itu yang menyebut Negeri Lama dan sekitarnya sebagai daerah racun. Dan, saat itu tidak tertarik untuk mempertanyakannya lebih jauh, karena aku lebih tertarik untuk melihat-lihat daerah yang baru pertama kali kukunjungi itu.

Sampai selang tiga hari kemudian, ketika malam saat aku bersama tiga orang lainnya melintasi Kecamatan Kota Pinang, yang jadi ibukota Kabupaten Labuhan Batu Selatan, dengan mobil, cerita daerah racun muncul lagi. Kali ini karena supir kami, menolak tawaranku untuk berhenti istirahat di warkop yang ada di Kota Pinang. Alasannya sama: daerah racun.

***

Kita tahu setiap daerah punya ceritanya masing-masing. Jika engkau ingin menyerap hikmahnya, dengarkanlah cerita mereka, dan hormatilah peraturan mereka dengan menurutinya. Cuma misionaris dan penjajah yang tidak menjunjung langit di mana bumi mereka pijak. Dan itulah seburuk-buruknya kawan jalan, dan pengunjung.

Aku membagikan cerita ini semata untuk memperkaya informasi di internet. Untuk mengangkat suatu pengetahuan lokal yang jadi cerita lisan, menjadi tertulis. Bukan untuk menyombongkan diri, bukan untuk menjatuhkan nama baik suatu daerah. Jadi permisi, dan mohon maaf sedalam-dalamnya jika ada yang tersinggung.

***

Kembali ke dalam mobil tadi, jadilah sepanjang perjalanan sejak Kota Pinang tadi kami mendengar cerita soal daerah-daerah beracun. Narasumber utama adalah sang supir, yang mengaku dulu pernah kena racun juga.

Diceritakannya, waktu itu dia terkena di pelosok Kabupaten Rokan Hilir, Riau, pada suatu jamuan pesta pernikahan. Racun mulai dirasakannya bereaksi di mulut pada perjalanan pulang ke Labuhan Batu. Penangkal sementaranya dia minum kelapa hijau dua kali, selain terus ke pengobatan tradisional juga. Syukurlah sembuh. Percuma ke dokter, tidak akan terdeteksinya.

***

Penasaran ingin dapat cerita lebih, aku pergi ke sepupuku yang jadi pemandu saat ke Negeri Lama. Ceritanya cukup menarik, sekaligus mengerikan. Dua istilah yang sungguh subjektif, karena bagi masyarakat setempat, bisa jadi itu cerita yang biasa saja, cerita lama malahan.

Diceritakannya, ada beberapa kota-kota racun, atau daerah di Sumatera bagian Utara yang dihuni oleh orang-orang ahli meracun. "Sampai sekarang masih ada," katanya.

Biasanya, jika ada perempuan yang ketahuan punya keahlian meracun itu, oleh masyarakat diusir dari kampung tersebut. Atau, disuruh pergi dulu jika di kampung tersebut sedang ada pesta hajatan.

Media meracunnya adalah lewat makanan. Orang yang punya keahlian meracun itu biasanya perempuan dari golongan keturunan tertentu dan melakukannya dengan menjentikkan kuku jemari tangan ke arah orang yang sedang makan. Keahlian tersebut bukannya dia dapat dari latihan, melainkan karena keturunan darah, yang disadarinya melalui mimpi.

"Datangnya lewat mimpi, jika perempuan itu dapat mimpinya, berarti dapatlah. Bukannya karena ingin," katanya.

Riwayat racun itu berasal sejak zaman nenek moyang. Ceritanya, nenek moyang itu dahulu berkehidupan dari menanam padi, atau berladang. Nenek moyang itu minta bantuan mahluk lain untuk menjaga usahanya, hingga panen dengan sukses. Sebagai imbalannya, dalam perjanjian, mahluk lain itu harus dikasih makan, dengan cara meracun orang lain sampai mati.

Perjanjian itu rupanya terus melekat ke keturunan, meski keturunan tersebut tidak lagi berladang, atau malah tidak lagi tinggal di daerah yang sama. Lantas bagaimana jika kita terkena. Ya kau harus pergi berobat ke pengobatan tradisional.

Tidak ada motif pribadi tertentu dari si peracun terhadap korbannya. Bahkan, tidak harus kenal sedikit pun. Peracun memilih korbannya acak saja. Dasarnya hanya kapan dia mendapat perintah melalui mimpi untuk segera mendapat korban.

Lantas dengan cerita demikian, bagaimana para pengusaha warung makanan di kota-kota itu bisa hidup. Teringat juga aku pada almarhumah Nenek, yang dulu punya warung mie lidi dan lontong pecel yang cukup ramai pembeli di pinggir Jalan Lintas Sumatera. Kebanyakan memang orang yang belinya dibungkus, tidak makan di tempat warung Nenek. Enak kali lho pecelnya.

Wallahu A'lam Bishawab. 

You Might Also Like

1 comments

  1. Gw baru tau kalo ada daerah racun dan itu turun temurun ... serem ah kalo gitu

    ReplyDelete