Tukang Bakso dari Jawa

Sunday, April 19, 2015

Bersama Mas Toijan di rumah, Labuhan Batu, 2015.
Dalam ingatanku selama tinggal di Lhokseumawe, Aceh, tidak pernah menemukan penjual bakso orang Aceh. Adanya keturunan Tionghoa atau Cina, atau dari Jawa.

Di kota kecil itu, bakso yang paling terkenal mungkin warung bakso Rahayu, di Jalan Iskandar Muda, dekat dengan Markas Komandan Distrik Militer (Kodim) Lhokseumawe. Enak? Biasa saja bagiku. Nah, bakso yang enak di Lhokseumawe adalah bakso yang didorong, gerobaknyalah.

Cuma ada sedikit masalah sehingga sebenarnya aku termasuk jarang makan bakso itu. Begini pasalnya, pertama, aku tinggal di rumah bersama seorang wanita yang melahirkanku dengan keahlian memasak di atas rata-rata (Ah, tentu saja semua anak akan bilang begitu, eh tapi ini serius). Kedua, waktu gerobak bakso itu lewat depan rumah adalah setengah jam setelah aku tiba di rumah dari pulang sekolah, kira-kira pukul 15.00 WIB.

Pasal pertama menyebabkan aku sangat jarang makan di luar, jarang sekali. Makan di luar rumah biasanya karena yang gratis, misalnya nasi kotak karena suatu acara, dan semacamnya. Sangat jarang Emak kami itu tidak masak. Cara yang sangat keren dari (almarhum) Bapak untuk berhemat, sehingga bisa mencukupi (lebih dari cukup) semua kebutuhan anak-anaknya.

Pasal kedua menyebabkan aku dalam kondisi sedang makan atau tidur. Iyalah, yang pertama kali aku lakukan sepulang sekolah ya makan kemudian tidur.

Nah, sesekali jika aku ingin makan bakso yang lewat itu depan rumah itu, diperlukan sedikit ikhtiar. Caranya, sepulang sekolah aku duduk menunggu saja di ruang tamu, memandang ke arah jalan di depan rumah melalui dinding kaca.

Pada hari-hari sekolah, Senin sampai Sabtu, terkadang aku melakukannya setelah makan dulu, atau jika aku sedang sadar (dengan berat badan yang tetap harus dijaga meski masih remaja) ya nggak makan dulu.

Sementara pada Minggu malah lebih jarang bisa berhasil mencegat bakso itu. Soalnya terkadang pas aku sedang main ke luar, atau ya itu masalahnya tadi, waktu lewatnya. Waktu lewatnya adalah setelah aku makan siang terus tidur.

Apa sih istimewanya bakso yang didorong itu? Pertama-tama adalah karena didorong. Bapak (atau Emak, atau Abang aku yang) pernah bilang, agar lebih suka membeli bakso yang didorong, karena usahanya lebih keras daripada yang punya tempat, sehingga biasanya citarasanya dibuat lebih enak untuk menarik orang beli.
 Sayangnya, setelah aku coba beberapa kali membeli bakso yang didorong, tidak pernah menemukan lagi yang enak, sampai aku berhenti mencoba sejak beberapa tahun sebelum pergi dari Yogyakarta. Oh, ini juga sekaligus aku ingin kasih tahu kenapa aku tidak suka beli bakso lagi.

Ada sesuatu di kuah baksonya yang membuat terasa semacam kaldu sapi yang demikian lezat. Tidak perlu tambahan apa-apa lagi, semacam saus kecap sambal itu tidak perlu. Oya, mentorku fotografi Suryo Wibowo, legenda dari Jerman yang gagal lulus lalu menyambung program Komunikasi di Universitas Atmajaya Yogyakarta itu, pernah bilang kalau kita masih menambahkah hal-hal semacam itu berarti menghina kokinya, berarti ada yang kurang atau lebih dari masakan kokinya. Eh, dan lagi kita bisa minta tambah cincangan lemak sapi kecil-kecil sedikit.

Mas Toijan nama panggilan tukang bakso itu. Dia tukang bakso dari Jawa. Entahlah nama aslinya atau bukan, aku tidak pernah memeriksa KTP-nya, termasuk ketika dia bersilaturahmi ke rumah orang tuaku di Labuhan Batu.

Yak benar, bersilaturahmi, betapa menyenangkan setelah mendengar kabar Mas Toijan akan datang, sekitar dua minggu setelah Bapak aku wafat. Ingatanku langsung ke cita rasa baksonya, dan betapa aku kadang duduk sendiri di ruang tamu memandang ke jalan sembari berusaha menahan godaan untuk tidak memakan masakan Emak.

Mas Toijan datang bersama Om GW, dari tempat tinggal mereka sekarang di Perdagangan - Tomuon, Sumatera Utara, lima jam perjalanan dari rumahku. Mereka datang karena Om GW ingin bersilaturahmi, setelah dapat kabar Bapak wafat dari jejaring perkawanannya di facebook sesama pensiunan perusahaan yang sama. 

Nah, mereka berdua itu dahulu sempat tinggal di rumah samping kami persis selama beberapa tahun, karena ikut pemilik rumahnya yang dari Semarang. Itulah mengapa keluarga kami cukup akrab. 

Ketika bersilaturahmi ke rumah kami, Mas Toijan cerita, dia ikut pemilik rumah kami itu karena masih bersaudara jauh untuk mencari peruntungan yang lebih baik di Lhokseumawe, meski sebenarnya Mas Toijan sendiri asalnya dari pelosok Kediri. Di kampungnya dia tidak punya pekerjaan tetap, pun sebenarnya ke Lhokseumawe tanpa tujuan pekerjaan yang lebih pasti. Sementara Om GW lebih dulu mapan karena diterima menjadi karyawan swasta, Mas Toijan sempat merintis macam-macam usaha. Saat itu aku masih di bangku Taman Kanak-kanak, jadi tidak ingat apa saja usahanya.

Awal mulanya memilih bakso, ketika dia sedang makan bakso di depan Bank Pembangunan Daerah Aceh Utara, di Jalan Samudra. Dia ngobrol dengan penjualnya, menanyakan perhitungan usahanya, dan bagaimana cara membuatnya. Setelah dihitung-hitungnya lumayan, dia pun baru mencoba. Jadi sebelumnya ya dia tidak bisa membuat bakso.

Masa-masa awal, katanya tidak mudah, sering rugi. Adapun ketika sampai pada masa-masa dia lewat depan rumah dan aku menunggu di ruang tamu, itu setelah dia jalan beberapa tahun memulai usaha baksonya. Tinggalnya sudah di Lorong Laut ke sekian (karena kalau tidak salah ada Lorong Laut 1 sampai 5), Desa Hagu Selatan, Kecamatan Banda Sakti, cuma 10 menit jalan kaki menuju rumahku. Sementara daya jelajah gerobaknya cukup sekecamatan saja.


Mas Toijan datang bersama Om GW dan istri mereka masing-masing, sore hari. Mereka menginap dan pergi esok harinya karena perlu silaturahmi ke satu alamat lagi di Labuhan Batu.

Sebelum pergi, Mas Toijan meninggalkan buah tangan yang benar-benar sesuai keahliannya: bakso. Iya, Mas Toijan masih terus berjualan bakso di rumahnya yang sekarang, sejak mengungsi dari Aceh. Foto yang kupegang tersebut adalah ketika dia sedang membuka gerai bakso di acara pernikahan anaknya Om GW.

Mas Toijan, semoga Allah senantiasa memberi kesehatan, keselamatan, keamanan, dan keberkahan buatmu sekeluarga. 

You Might Also Like

4 comments

  1. Mas Heruls harusnya coba Bakso Gading di jalan abubakar, Jogja. Itu Maknyuss! Sdh jualan sejak tahun 1983

    ReplyDelete
  2. Mas Heruls harusnya coba Bakso Gading di jalan abubakar, Jogja. Itu Maknyuss! Sdh jualan sejak tahun 1983

    ReplyDelete
  3. kapan mas heru ntraktir saya kuliner bakso???

    ReplyDelete
    Replies
    1. setelah mas karno ntraktir saya kuliner sop kambing

      Delete