Perjalanan ke Perkebunan Teh Nirmala

Thursday, May 14, 2015

Pos Keamanan di Perkebunan Teh Nirmala
Dua jam perjalanan mengendarai sepeda motor Honda Supra X 125 di atas jalan yang terbuat dari bebatuan cadas yang licin sungguh menguras stamina. Dua jam itu terhitung dari tiga kilometer setelah muka Kantor Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, sampai Desa Malasari di kecamatan yang sama. Yeah, hanya tiga kilometer jalan dari kantor kecamatan yang layak dikatakan nyaman. 

Itu sewaktu libur Mayday, alias Hari Buruh Sedunia, Jumat 1 Mei 2015. Aku berangkat dari rumah di Serpong masuk ke Kabupaten Bogor melalui Gunung Sindur yang masih saja jalannya remuk redam sepanjang lima kilometer. Muncul di Jampang, lalu mengarah ke Jasmin, Bubulak, Dramaga, Leuwiliang, terus ke pusat kecamatan Nanggung. 

Tujuanku adalah kawasan Perkebunan Teh Nirmala. Kapok, jika akan ke sana lagi, lebih baik lewat rute dari Sukabumi saja. Sepanjang jalan pemandangannya juga tidak istimewa, tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan oleh tangan dan bokong yang harus terus meredam getaran. Apalagi jalannya bolak balik naik turun, dan keluar masuk hutan rimbun. Sangat jarang berpapasan dengan pengendara lain.

Getaran itu sungguh merusak. Rantai Honda itu jadi longgar. Sepuluh hari setelahnya rantai terlepas dari geriginya di Rawa Buntu, saat menuju stasiun Serpong untuk menjemput istri. Malam dan tidak ada bengkel yang buka, untungnya masih bisa sendiri kupasangkan kembali rantai itu.

Harus merasa beruntung karena tidak mengalami kebocoran ban, atau kendala kendaraan lainnya. Penggantian ban belakang dengan tubeless ditambah suntikan anti bocor yang kulakukan tiga bulan lalu di Planet Ban sangat bermanfaat.

Aku melewati Kantor Kecamatan Nanggung hampir pukul 16.00 WIB. Sekitar 17.30 sebetulnya sudah memasuki kawasan awal Perkebunan Teh, namun seperti kebanyakan di dataran tinggi, cahaya matahari sudah meredup seperti mendung.

Di perkebunan teh Nirmala, ada beberapa perkampungan (sekumpulan rumah yang berdekatan). Aku terus saja menyusuri jalan yang kuanggap jalan utama, meski beberapa kali menemukan persimpangan untuk menuju suatu kampung.

Sampai di suatu persimpangan, aku berhenti untuk bertanya, karena ada dua anak muda di situ. Aku bilang mencari masjid terdekat. Mereka mengarahkan ke kiri (agak ke bawah), sementara jika yang kanan menuju pabrik perkebunan tehnya. Hampir maghrib.

Mencapai rumah pertama di perkampungan itu, azan maghrib berkumandang. Dari arah datangku yang agak tinggi, sebenarnya speaker masjid itu tampak, namun saat sudah berada depan rumah pertama yang berada di sudut persimpangan, aku bingung harus mengambil arah ke mana untuk menuju masjid itu, karena sudah mulai rata.

Tidak ada orang untuk bertanya, aku pilih ambil kanan. Sampai di ujung kampung, maksudku di depan rumah paling ujung jalan dari kampung itu, tampak orang di ruang tengahnya dari luar. Aku pun menyapa, bermaksud menanyakan arah ke masjid.

Yang ke luar adalah seorang perempuan semampai semlohai berparas mirip bintang iklan rokok kretek yang bilang "Yah kerupuknya lupa dihitung", tahu khan? Yup, meski cahaya sudah teramat temaram, kualitas seperti itu tak bisa disembunyikan dari mataku kawan. Pakaiannya tak perlu kudeskripsikanlah.

Perempuan itu menjawab pertanyaanku, dan aku bergegas, segera menghadap.

Tunai maghrib, aku bertanya-tanya ke warga, di dekat masjid,  di mana penginapan terdekat. Ada lima pilihan. Urut berdasar penginapan yang terdekat hingga terjauh: di rumah warga yang biasa dipakai Brimob; penginapan dekat pabrik teh; penginapan milik Pak Odang; penginapan homestay di Citalahab; dan di Resort Cikaniki.

Aku pilih di penginapan Pak Odang dengan tarif Rp 250 ribu per malam. Perjalanan menuju penginapan tersebut berarti meninggalkan kampung tempat masjid tadi, menembus gelap gulita perkebunan teh yang di sisi kanan lebih tinggi daripada di sisi kiri, dan kondisi jalan yang masih sama remuknya selama setengah jam. 

Perjalanan pulang keesokan harinya tentu saja aku pilih lewat Sukabumi. Sedikit lebih baik, karena perjalanan yang meredam getaran hanya makan waktu satu setengah jam. Yeah, kebih baik setengah jam lah.

Oh, tentu saja aku akan usahakan bisa ke Perkebunan Teh Nirmala lagi. Dengan manajemen perjalanan yang lebih baik, untuk membuat dokumentasi yang lebih baik. Sebenarnya bisa saja aku menginap satu malam lagi, tapi pilihan itu rasanya terlalu egois bagi pekerjaan rumah tangga lain yang kutinggalkan terbengkalai.

Apakah derita di perjalanan itu sebanding dengan pemandangan yang kudapatkan? Harus kukatakan tidak, karena perkebunan teh itu sedang dalam masa penyembuhan. Sedih melihat kondisi dedaunan tehnya. Tapi jika dibandingkan dengan cerita-cerita yang kudapatkan dari perjalanan, yah stamina yang terkuras itu sebanding.

You Might Also Like

1 comments

  1. hmm, menantang sepertinya perkebunan teh yang satu ini. saya bisa membayangkan 2 jam di atas sepeda motor di jalanan berbatu. pasti penuh perjuangan tuh..

    ReplyDelete