Komentar di Instagram

Monday, August 17, 2015

Perspektif tetanggaku melihat rumah keluargaku (terjual pada 2002). Anak tetangga yang paling kecil biasa kubantu untuk bisa menyeberang. 

Aku tahu betapa melihat sebuah foto bisa membuat perasaan campur aduk. Foto yang aku ambil sendiri, maupun yang diambil orang lain tak ada urusan, yang pastinya aku punya kenangan terhadap foto tersebut.

Nah, yang aku baru tahu adalah betapa sebuah komentar di Instagram dapat membuat perasaanku campur aduk, dada terasa sesak, tenggorokan terasa kering, dan mata terasa pedih. Aku baru punya akun Instagram pribadi sejak 30 Mei 2015, aku baru punya akun pribadi di Instagram, sebuah media sosial berbasis foto.

Sebelumnya, aku sudah pernah tahu sedikit banyak bagaimana memakai Instagram, pernah melihat-lihat update Instagram dari beberapa kawan, pernah pula membuatkan akun Instagram untuk satu organisasi. Instagram seperti layaknya media sosial, sesama pemilik akun di media sosial tersebut bisa saling berkomentar terhadap satu update di akun lain.

Ceritanya, pada awal bulan Syawal 1436 Hijriah kemarin, aku berusaha mengingat semua kawan lama dan keluarga yang pernah kutumpangi rumahnya untuk tidur. Sebisa mungkin aku menghubungi mereka lewat telpon untuk memohon maaf.

Entah kenapa ingatan dari segala hal yang pernah kulakukan terhadap orang lain, pelan-pelan muncul sejak akhir Ramadan ini. Ingin sekali rasanya bisa menjumpai mereka satu per satu untuk minta maaf.

Sejak beberapa tahun terakhir, aku merasa betapa sangat lain, minta maaf pada orang sembari dalam hati sungguh-sungguh mengingat kekhilafan, dibanding minta maaf yang hanya sekadar kebiasaan. Kau cobalah.

Tibalah ingatanku pada satu keluarga di Lhokseumawe, kami tinggal berdampingan sejak aku kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Tidak dari awal karena mereka yang datang belakangan mengisi rumah bekas tersebut.

Keluarga yang baik, mereka keturunan darah daging asli Aceh. Anak-anaknya empat, yang pertama lelaki seumuran abangku, perempuan seumur denganku, dan dua anak lelaki berusia bawah lima tahun.

Aku akan melompat dari betapa banyak aku punya cerita dengan setiap anggota keluarga tetangga itu, kecuali dengan sang kepala keluarga, karena jarang di rumah. 

Di Instagram, aku follow dua anggota keluarga yang paling muda. Ini karena sebelumnya aku sudah berkawan dengan mereka di Facebook, dan aku memanfaatkan fitur untuk follow berdasar perkawanan di Facebook. Rupanya mereka berdua lebih aktif berbagi kabar di Instagram daripada Facebook.

Bisa kau bayangkan, betapa praktis aku tidak berjumpa dengan dua anak itu sejak 2000, lima belas tahun lalu sejak aku pergi ke Yogyakarta. Sewaktu aku pergi, yang paling muda sudah masuk SD.

Di Instagram itu aku lihat, betapa mereka berdua sudah menjadi remaja yang rupawan, brewok, mancung, dan berkulit cerah yang khas Aceh, wajar pada tiap update mereka dapat banyak komentar dari kaum perempuan.

Pada salah satu update anak yang ketiga, aku lihat foto sang ibu sendiri, beliau guru SMA di Lhokseumawe, berada di tanah suci bermukena. Tidak ada komentar dari kaum perempuan, atau siapapun di foto itu, mungkin karena tidak ada kawan-kawan mereka yang mengenali sosok tersebut.
"Apa kabar beliau dek", komentarku. Dan balasan dia, "alhamdulillah mak sehat bg. Alumni sma 3 ya??". Deg, betapa rupanya adek ini tidak mengingatku.

Aku yang dulu suka membantunya saat masih suka mengemut empeng (kompeng atau dot) untuk menyeberangi pagar pilar pembatas rumah kami bolak balik, mendorong sepedanya dari belakang, dan kenakalan lainnya yang kadang dilakukan anak yang lebih besar kepada anak yang lebih kecil. Dia tidak ingat aku.

Bersyukur aku bisa menelpon sang ibu, dan anak kedua yang seumur denganku. Mereka semua sehat wal afiat. Senang bisa minta maaf dari mereka, untukku dan untuk keluarga besarku, dan saling bertukar kabar.

Dalam hati kuberdoa mereka selalu dalam kondisi baik, masih bisa berjumpa dengan keluarga tersebut, setidaknya salah satu saja dari mereka.

You Might Also Like

2 comments