Kuliner Di Perantauan

Friday, December 25, 2015

Kuliner di acara Musyawarah Pengurus Cabang Istimewa Persyarikatan Muhammadiyah United Kingdom, di Leeds, Desember 2015
Kuliner di acara Musyawarah Pengurus Cabang Istimewa Persyarikatan Muhammadiyah United Kingdom, di Leeds, Desember 2015 
Aku bukan yang termasuk manja dengan beberapa jenis makanan atau minuman tertentu. Lidahku cukup mudah untuk menyesuaikan dengan berbagai kuliner di perantauan, atau daerah kunjungan mana saja. Berbulan-bulan di perantauan, tanpa memamah kuliner kampung halaman bukan masalah buatku. 

Bukannya aku tak punya makanan minuman di kampung halaman yang jadi kesukaan. Rasa rindu pada selera asal juga sering muncul. Tapi kerinduan itu tak pernah jadi alasan untuk tidak berselera dengan makanan yang bisa kujangkau. Yang jadi penyebab tidak berselera biasanya hanya suasana hati. Halah.

Hanya saja aku punya keimanan, sabda yang entah aku pernah baca atau dengar di mana, entah sahih atau tidak yang pasti aku mengamininya, bahwa makanan yang terbaik adalah yang sumbernya terdekat, sumbernya sedekat mungkin dengan lokasi engkau memamahnya.
Ya, mereka orang Indonesia, tidak ada keraguan atasnya, Coventry, 17 Oktober 2015
Ya, mereka orang Indonesia, tidak ada keraguan atasnya, Coventry, 17 Oktober 2015
Tiga alasan aku mengamini sabda tersebut. Pertama, adalah karena semakin dekat sumbernya maka semakin sedikit konsumsi energi atau emisi bahan bakar yang kita gunakan untuk menjangkaunya, atau produk kuliner itu gunakan untuk menjangkau kita. 

Kedua, aku percaya alam senantiasa menyesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan manusia bisa menyesuaikan dengan ketersediaan alam. Kegiatan saling menyesuaikan ini akan berlangsung terus menerus seperti evolusi. 

Ketiga, soal kesegaran produk kuliner tersebut, dari sumbernya, kemudian sesampainya di hadapan kita. Semakin jauh dan lama, semakin tidak segar. 

Pergulatan manusia dengan alam ini menghasilkan kebiasaan-kebiasaan. Pada versi yang bersifat kolosal, berlaku pada batas-batas wilayah tertentu, dan dipandang mulia, disebut kebudayaan. Nah, aku meyakini kuliner itu juga termasuk produk kebudayaan, jadi kenapa kita tidak menikmati kuliner di perantauan sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi alam sekitar?

Manusia dikodratkan sebagai pemimpin di muka bumi ini oleh Tuhan, di antara mahluk hidup ciptaan lainnya. Kodrat ini menyebabkan manusia terus menerus menjelajah, sekaligus saling mempertukarkan kebudayaan, termasuk produk kuliner dari daerahnya masing-masing. 

Prinsipnya, selama daerah tersebut bisa terjangkau oleh perangkat transportasi penjelajahan manusia, maka produk kuliner apa saja pun bisa terantar. Nah, dengan demikian, sebenarnya semua produk kuliner kampung halaman pun bisa didapat. Hanya saja, ongkos pengantaran yang jadi masalah. 

Dengan prinsip demikian, bisa dimengerti jika harga produk kuliner yang diimpor biasanya lebih mahal dari produk kuliner dalam negeri karena tambahan biaya pengantaran. Harga produk kuliner biasanya lebih murah di daerah asalnya produksinya.

Nah, demi menyesuaikan diri dengan kebudayaan di perantauan, dan mengirit juga, kenapa tidak kita nikmati saja kuliner di perantauan. Mau memaksakan diri dengan mengkonsumsi kuliner dari kampung halaman, itu sama saja dengan tidak mau menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat, dan lebih boros pula. Begitu kira-kira.

 Pedagang kuliner sate di Coventry, pada acara kompetisi olahraga antar kota di UK yang digelar Kedutaan Besar Indonesia, 17 Oktober 2015
Pedagang kuliner sate di Coventry, pada acara kompetisi olahraga antar kota di UK yang digelar Kedutaan Besar Indonesia, 17 Oktober 2015
Oiya, sebagai perantau, yang paling mudah untuk menemukan kuliner dari negeri asal biasanya adalah pada acara yang digelar Persatuan Pelajar Indonesia yang biasanya gratis, dan pada acara yang digelar Kedutaan Besar yang kadang-kadang bayar.

You Might Also Like

0 comments