Membandingkan Indonesia

Friday, January 01, 2016

Leeds Grand Mosque, 2015
Leeds Grand Mosque, 2015
Hai sidang pembaca yang mencintai Indonesia, yang tidak mencintai Indonesia tidak hai. Aku mau mengomentari ihwal kebiasaan sebagian kita yang suka membanding-bandingkan.

Apakah membanding-bandingkan itu buruk? Tidak selalu. Ada kalanya baik ketika membandingkan tersebut dengan suatu kondisi yang lebih baik berdasar ikhtiar untuk mendorong kondisi yang dibandingkan tersebut menjadi lebih baik.

Aku anggap buruk dan mengganggu yakni membandingkan Indonesia, yang lazim dilakukan oleh jurnalis dan siapa saja yang suka membandingkan tanpa menempatkan dalam konteks yang mencerahkan. Aku ingin mengingatkan kembali peran jurnalis ketika menyampaikan informasi yakni harus disertai dengan menempatkannya dalam konteks yang jernih, sertakan faktor-faktor yang setara, sedapat mungkin.

Ceritanya, aku menonton video berita di YouTube tentang konsumsi beras yang membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain, misalnya Jepang yang sesama pemamah nasi, dan beberapa negara lain dalam suatu infografik (diagram). Menjadi mengganggu buatku, karena tidak disinggung sama sekali tentang jumlah populasi masing-masing negaranya.

Aku menonton itu pada awal 2015, sudah lama sekali memang, namun perasaan (terganggu) ini terus kupendam. Sejak itu sampai sekarang, aku terus menerus membaca, menonton, mendengar jurnalis, orang-orang, membandingkan Indonesia yang kaya budaya ini dengan negara-negara lain, sampai kemudian sekarang aku harus berkata Enough is Enough! #ceile.

Oh, kau boleh menyimpulkan betapa aku sangat ahli memendam perasaan. Oh, keahlian ini tidak instan kawan, aku mendapatkannya dengan perjuangan, dan sampai sekarang pun aku terus mengasahnya.

Banyak contoh lain laporan jurnalistik yang membandingkan Indonesia tanpa menyertakan konteksnya. Untuk contoh konsumsi beras, kau bisa bilang sudah menyebut konteksnya yakni sesama pengkonsumsi beras. Benar, menyebut satu variabel yang sama berarti sudah merupakan konteks, tapi tanpa menyebutkan jumlah populasinya itu tidak mencerahkan, kawan.

Gangguan lain, tersebutlah seorang editor ternama koran cetak ternama yang curhat, "Inilah Senjakala Kami" judulnya, kemudian ada yang membandingkan, bahwa versi daring alias dalam jaringan (salah satu upaya generasi yang berusaha kekinian dan cinta bahasa serapan untuk menerjemahkan "versi online") lebih banyak dibaca daripada versi cetak.

Menurut ngana, hari gini, versi mana yang lebih banyak dibaca orang? Lha, versi cetak, orang harus beli korannya entah kemana, atau pinjam baca entah kemana, memegangnya lebih payah pula daripada versi daring yang gratis dan dikirim ke genggaman tangan. Ironis? Iya, kalau dulu sekali dikatakannya.

Aku percaya niat baik jurnalis yang hendak membandingkan Indonesia itu. Karena biasanya dibandingkannya dengan kondisi yang lebih baik. "Di negara lain bisa begini, kok di Indonesia tidak bisa begini. Di negara lain bisa begitu, kok di Indonesia tidak bisa begitu". Ini adalah contoh pemakaian perbandingan yang baik, karena membandingkan dengan kondisi yang lebih baik membuat kita terdorong untuk menjadi lebih baik. Tapi konteksnya, tolonglah disertakan.

Pada kasus membandingkan kebiasaan, menemukan suatu variabel konteks yang (terasa) setara memang susah. Membandingkan satu manusia dengan manusia lain saja tidak pernah terasa adil, bagaimana mau membandingkan sekelompok manusia dengan manusia lain.

Aku tahu, menyertakan konteks akan menambah durasi atau panjang naskah, namun tidak ada alasan keterbatasan ruang produksi lagi toh pada media digital, teks atau video. Tidak akan signifikan juga menambah waktu orang untuk menyimaknya. Tidak akan sampai lebih satu menit waktu orang bertambah untuk membacanya. Tentu dibutuhkan keahlian menyunting yang keren. Di BPPM Balairung UGM, tempat aku tiga tahun belajar jurnalistik, aku kenal orang yang bisa menyunting isi naskah ini menjadi setengah panjangnya tanpa mengurangi subtansi yang mau kusampaikan.

Pemakaian perbandingan yang buruk adalah ketika kita membandingkan dengan kondisi yang lebih buruk, guna membuat kita merasa lebih baik. Tidak perlu contoh, kau tahulah maksudku. Hmmm, mungkin kata buruk kurang tepat, lebih tepatnya kekanak-kanakan. Seperti anak SD yang ditanyai orang tuanya, "Kenapa rapormu banyak merahnya", dijawahnya "Loh, teman-teman lain juga lebih banyak yang merah kok". Kenapa saudara korup, loh yang lain juga korup kok". Begitu kira-kira.

Oiya, ingatlah bahwa kekayaan budaya Indonesia luar biasa, dan betapa soal kebudayaan alangkah anehnya jika kita melakukan perbandingan. Kecuali ketika engkau ingin buat keputusan untuk kepentingan bisnis, tentu saja perbandingan itu perlu dipaparkan.

Naskah ini sedikit banyak berangkat dari semakin banyak dan mudahnya medium yang memfasilitasi penyampaian pemikirannya sembari melakukan perbandingan.

Jika kau mau berbagi contoh jurnalis, atau orang-orang membandingkan Indonesia yang mengganggumu, yang terasa sungguh tidak adil (fair), silakan pakai kolom komentar, kau sangat kusambut.

Leeds, sebelum berangkat Jumatan, 1 Januari 2016.

You Might Also Like

2 comments

  1. Wah sudah sampai Leeds aja.

    Sama, aku sering terganggu dengan logika membandingkan Indonesia yang ujungnya merendahkan. Kalau pas yang gak baik, gak dibandingkan. Di dunia pendidikan, bolak-balik logika itu dipakai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Kak Bukik, terima kasih partisipasinya.
      Terus berjuang untuk kualitas pendidikan anak-anak Indonesia yah

      Delete