Laki-laki yang menangis meninggalkan Jogja

Thursday, May 17, 2012

Laki-laki yang menangis meninggalkan Jogja

Perawakannya tinggi gempal (170 cm, dengan berat badan kutaksir sekitar 120 kg), berambut cepak, dengan brewok yang tidak terlalu kentara. Sembilan tahun dia di Jogja untuk kuliah, dan ... untuk yang lain-lainnya tentu.

"Mau pulang ke Cirebon itu aku nangis dulu Mas" ucapnya padaku di sebuah ruang tunggu balkon, lantai dua Studio Photo Jonas di Bandung, Minggu 13 Mei 2012. Kami sama-sama menunggu cetakan foto.
[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Mercusuar, Bantul, 2012. Aku bingung mau kasih foto apa, ini ajalah, hehe. "][/caption]
Aku ikut mencetak foto karena dia punya kartu anggota dengan potongan harga. Sekaligus membunuh waktu, menunggu pamanku yang sedang belanja di Cibaduyut. Sebelumnya, dia jemput aku di Bandung Indah Plaza.

Cukuplah kuberitahu namanya sebagai "Akang", untuk melindungi pribadinya. Kami baru saling kenal di Cirebon, lima bulan lalu.

Saat itu, kami kumpul dengan tiga fotografer Cirebon lainnya, di sebuah coffee shop - yang kopinya tidak enak - di depan sebuah mall terbesar di kota itu.

Akang mengklaim cukup populer di kampusnya. Mahasiswa/i angkatan 1997 sampai 1999 di Psikologi Universitas Islam Indonesia pasti mengenal sosoknya. Rambut gondrong sangar hampir menyentuh pinggang. Mengendarai sepeda motor gede kumal nan berisik. Itulah ciri khasnya.

Akang mengatakan, menjelang hari kepulangannya ke Cirebon, dia telusuri jalan-jalan, daerah-daerah di Jogja, yang sangat berkesan baginya. Malioboro tempat dia ngamen, ngegembel, dan mabuk sampai pagi. Tempat-tempat yang biasa dikunjungi bersama mantan-mantannya.

Jogja yang membentuk, mendidik, dan sekaligus mengubah kepribadiannya menjadi seperti sekarang. Terasa berat untuk ditinggal. Sejak menjelang tenggat kelulusannya, sudah disadarinya Jogja itu melenakan.

Dia sadar, hidup harus terus berlanjut. Dia harus kerja keras untuk bertahan dan maju. Tidak bisa terus hidup a la bohemian, seenaknya. Tidak bisa terus bergantung pada kiriman orang tua, terutama. Kini dia bekerja sebagai fotografer komersil.

Dia ungkap pandangannya tentang Jogja, baiknya, buruknya. Aku cukup menyimak, tanpa menyela, atau menyanggah. Hanya menanggapi jika dia minta. Kubiarkan Akang terus bercerita, biar lega hatinya.

Sebatang rokok kretek tanpa filter kuhabiskan. Dia habis tiga batang rokok enteng berfilter. Pesanan cetak foto kami jadi. Aku dikembalikannya ke Bandung Indah Plaza.

You Might Also Like

6 comments

  1. Aku juga penuh kenangan klo bicara tentang jokja :)

    ReplyDelete
  2. heru.... kenapa kau mengaduk-aduk perasaan orang-orang yang pernah hidup di jogja dan harus meninggalkannya? oh kejamnya.... apalagi kau pasang foto mercusuar Bantul di saat senja.... aduuhhhhh...

    ReplyDelete
  3. Tuan Hari,
    Apalah daya hamba? Hamba hanya mengangkat kegelisahan seorang kawan. Perkara itu menjadi pengaduk perasaan tuan, janganlah hamba disalahkan.
    Perkara foto mercusuar itu, ampuuun, hamba juga punya ingatan manis yang kini jadi menyakitkan untuk dikenang, aduh.

    ReplyDelete