Sikap sportif

Friday, October 12, 2012

Sikap sportif adalah kemauan untuk mengakui kenyataan, jujur, ksatria, dan bagian dari keadilan sosial. Mudah dan sederhana, namun seringkali dikatakan sulit dan rumit, oleh orang-orang yang enggan dan pengecut.

Dalam suatu komunitas, sikap sportif sangat bermanfaat dan penting untuk bergerak maju. Untuk menyongsong masa depan bersama. Dengan mengakui semua yang terjadi secara adil, meminta maaf jika berupa kesalahan. Perjalanan ke masa depan akan lebih lancar, karena tak ada lagi yang mengganjal.

Negara-negara maju, dan negara berkembang menyadari hal itu. Contoh terdekat, aku kasih dari negara berkembang saja, yaitu Cambodia. Mereka mengakui, mereka jantan, mereka ksatria.



Lebih baik lagi, mereka tak balas perlakuan rezim pembantai warga sipil itu dengan langsung menghukum. Ada pengadilan terbuka, untuk memberi kesempatan membela diri, untuk mengakui. Siapa tahu, akan terbuka fakta-fakta.

Pelajaran lain, mereka lebih berdaulat. Hasil kerja keras petaninya dilindungi, tawaran utang dari lembaga keuangan internasional ditolak, keren tak. Tentu, tak semua perlu ditiru. Jika kau cukup dewasa, pasti kau bisa mengambil mana yang positif dan meninggalkan yang negatif.
[caption id="" align="alignnone" width="500"]Rush Crossings in railway, Cirebon, 2012[/caption]
Utamakan keadilan, rekonsiliasi kemudian. Rekonsiliasi adalah pemulihan hubungan perkawanan sehingga kembali pada keadaan semula. Negara perlu memberi contoh, agar diikuti oleh warganya. Orang tua perlu memberi contoh, jangan sampai ditiru oleh generasi berikutnya.



Aku kutip Joshua Oppenheimer, peneliti senior di Dewan Riset Kesenian dan Humaniora Inggris, sutradara film "The Act of Killing (Jagal)". Dia belajar film dari Harvard University, dan rain PhD di Central Saint Martins College of Art and Design, University of Arts London. Dari wawancara tentang film tersebut, tentang algojo pembunuh warga yang dituduh komunis, dimuat dalam majalah Tempo, edisi minggu pertama Oktober 2012.




Persoalan utama rekonsiliasi pada dasarnya bukan terletak pada sisi korban atau masalah prosedural, melainkan pada kemauan para pembantai untuk menggunakan imajinasinya dan melihat perbuatannya sebagai sesuatu yang salah dan jahat. Persoalan rekonsiliasi ada pada para pealaku yang tak mau mengakui kesalahan dan kejahatannya akibat upaya pembenaran yang sedemikian gencar, baik yang mereka tanamkan kepada diri sendiri maupun yang dicangkok dari propaganda rezim yang turut mereka bangun.



Kebanggaan yang mereka tunjukkkan memiliki banyak lapisan makna. Kebanggaan itu bercerita tentang jiwa rapuh yang kerdil dan tak berani mengakui perbuatannya sebagai sesuatu yang salah dan jahat; dan karenanya diberi kedok narasi perjuangan yang heroik. Kebanggaan itu akan runtuh dengan sendirinya jika semua tiang penyangga dan fungsinya dirontokkan. Dari situlah terbuka sebuah kemungkinan rekonsiliasi yang sejati. Tidak ketika rezim para pembantai ini masih menjadi pemenang dan berkuasa.

You Might Also Like

3 comments

  1. terlepas dari itu, saya tertarik ketika melihat foto bertema Rush Crossings in railway, Cirebon, 2012 diatas..sangat jurnalistis tenan iki..pengen mencoba memotret moment2 seperti itu :D

    ReplyDelete
  2. woyalelas itu berkat ajaran master soekarno

    ReplyDelete